EmitenNews.com - Indonesia dinilai akan menjadi daya tarik investasi pertambangan mengingat jumlah cadangan dan produksi beberapa komoditas mineral Indonesia yang masuk 10 besar dunia. Salah satunya adalah nikel. Mineral yang akan menjadi bahan baku utama baterai kendaran listrik ini menempatkan Indonesia pada posisi nomor satu dunia pada jumlah cadangan dan produksi.


"Mengapa Indonesia menjadi daya tarik investasi pertambangan? Menurut United States Geological Survey (USGS), cadangan nikel kita adalah nomor satu dunia, 23 persen cadangan nikel dunia ada di perut bumi Indonesia. Untuk produksi nikel juga Indonesia nomor satu," rinci Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Rapat Koordinasi Nasional dan Anugerah Layanan Investasi 2021, Rabu (24/11)

Selain itu ada bauksit yang menempati nomor 6 pada jumlah cadangan dan produksi dunia, dan cadangan tembaga Indonesia menempati posisi 7 dan produksinya ada di posisi 12 dunia.


Untuk komoditi emas Indonesia berada di posisi 5 pada potensi dan 6 pada produksi. Produksi timah Indonesia mencapai 17% dari cadangan dunia atau berada pada posisi kedua, begitu pula dengan produksinya.


"Di samping komoditas-komoditas tersebut, masih ada logam tanah jarang dan lithium yang potensinya sangat besar namun belum dapat diproduksi. Karena Indonesia belum memiliki teknologi untuk memisahkan dan memurnikan," ungkapnya.


Pada paparannya, Arifin juga mengatakan bahwa saat ini ada 19 unit smelter eksisting, 13 di antaranya adalah smelter nikel. Adapun telah direncanakan pembangunan 17 smelter lainnya, sehingga total smelter nikel nantinya menjadi 30 unit, dengan nilai investasi USD8 miliar. Direncakan pada tahun 2023 ada 53 smelter yang beroperasi.


"Demikian juga dengan komoditas lainnya, antara lain bauksit, besi, tembaga, mangan, timbal, dan seng. Nanti diperkirakan akan menarik investasi sebesar USD21.28 miliar," tambah Menteri ESDM.


Pemerintah berharap progresnya akan diakselerasi pada tahun 2022 karena pada tahun 2023 adalah batas waktu untuk izin ekspor konsentrat. "Smelter ini harus jadi. Ini memang sudah menjadi aturan Pemerintah bagaimana kita bisa secara serius dan sungguh-sungguh merealisasikan program hilirisasi," tegasnya.


Pada kesempatan itu, Arifin juga menyebutkan kebutuhan listrik untuk 53 smelter tersebut mencapai 5,6 GW dan berada di seluruh wilayah Indonesia. Diperlukan infrastruktur yang baik untuk mendukung kebutuhan listrik tersebut.


Kebutuhan listrik untuk 53 smelter ini mencapai 5.600 MW atau 5,6 GW dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menjadi tantangan Indonesia ke depan, bagaimana bisa mendukung industri-industri ini dengan energi hijau.


Untuk itu diperlukan infrastruktur yang baik. Dan kebetulan juga, sumber-sumber energi bersih ini letaknya di wilayah timur. "Tuhan Maha Adil, wilayah barat Indonesia sudah tumbuh, kemudian sekarang giliran wilayah timur, dan suatu saat kita akan mencapai keseimbangan, dan di sinilah kita bisa harapkan Indonesia bisa menjadi salah satu negara besar," tutur Arifin.(fj)