Hal ini menandakan bahwa pasar saat ini lebih fokus pada profil risiko arus kas bebas (Free Cash Flow/FCF) TTM yang masih negatif Rp3,64 triliun, meskipun secara kuartalan perusahaan telah berhasil mencatatkan FCF positif sebesar Rp247 miliar pada kuartal ketiga 2025. Pencapaian laba sebelum pajak yang disesuaikan (adjusted pre-tax profit) pertama kali sebesar Rp62 miliar adalah bukti nyata bahwa model bisnis baru ini mulai membuahkan hasil, yang kemudian memicu aliran masuk modal dari institusi besar seperti Southeastern Asset Management ke dalam saham GOTO di penghujung tahun 2025.

Proyeksi 2026: Momentum Menuju Profitabilitas Bersih yang Berkelanjutan

Stabilitas yang ditunjukkan oleh manajemen baru di bawah Hans Patuwo dan Simon Ho (CFO) telah memberikan kepercayaan diri bagi pasar untuk menaikkan proyeksi kinerja tahunan. Target Adjusted EBITDA setahun penuh 2025 telah direvisi naik ke kisaran Rp1,8 triliun hingga Rp1,9 triliun, sebuah lompatan signifikan dari estimasi awal. Bagi investor semua kalangan, pesan utamanya adalah bahwa GoTo kini telah berhasil bertransformasi dari perusahaan rintisan yang membakar uang menjadi entitas teknologi yang memiliki jalur profitabilitas yang jelas melalui sinergi ekosistem finansial dan operasional yang disiplin.

Dengan tata kelola yang dijaga ketat oleh komisaris sekaliber Agus Martowardojo dan John Prasetio, serta integrasi teknologi AI yang semakin dalam untuk efisiensi biaya, GoTo kini memposisikan dirinya sebagai proksi utama bagi ekonomi digital Indonesia yang terus tumbuh. Masa depan emiten ini kini sangat bergantung pada konsistensi manajemen dalam menjaga pertumbuhan pinjaman konsumen di sektor Fintech dan memastikan aliran service fee dari TikTok Shop terus mengalir secara produktif ke dalam neraca perusahaan.

Baca Juga: GoTo 2026: Era Avengers Profesional atau Hilangnya Jiwa Startup?

Disclaimer: Tulisan ini bukan ajakan jual/beli, tapi bahan diskusi biar lo makin pinter atur strategi. Do Your Own Research (DYOR)!