BEI Kaji Penyesuaian Free Float 30% untuk Emiten IPO, Apa Dampaknya?

ilustrasi idx incubator
EmitenNews.com -Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mengkaji rencana kebijakan baru terkait penyesuaian aturan free float atau porsi saham beredar di publik, khususnya bagi emiten yang baru melakukan penawaran umum perdana Initial Public Offering (IPO). Rencana ini mencuat seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang melantai di bursa dalam dua tahun terakhir, namun masih terdapat variasi besar dalam tingkat kepemilikan publik. Kajian BEI ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana dampaknya bagi pasar modal dan investor, terutama jika batas free float minimum ditetapkan sebesar 30%?
Latar Belakang Kebijakan Free Float
Dalam konteks pasar modal, free float adalah porsi saham yang dimiliki oleh publik dan diperdagangkan secara bebas di pasar sekunder. Semakin tinggi free float, semakin besar likuiditas saham tersebut di pasar. Sebaliknya, jika free float terlalu kecil, pergerakan harga saham cenderung lebih fluktuatif dan rentan terhadap manipulasi harga.
Saat ini, BEI menerapkan ketentuan minimum free float sebesar 7,5% dari total saham yang tercatat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bursa Nomor 1A tahun 2021 tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas. Namun, persentase tersebut dianggap terlalu rendah untuk mendorong likuiditas pasar yang sehat. Karena itu, BEI mempertimbangkan penyesuaian signifikan hingga ke angka 30% bagi emiten baru yang akan melantai di bursa.
Dalam praktiknya, rendahnya free float kerap menyebabkan aktivitas perdagangan saham menjadi tidak efisien. Beberapa saham yang memiliki kapitalisasi besar justru tercatat memiliki volume transaksi harian sangat kecil, sehingga harga saham sulit mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) pun terkadang kurang representatif dalam menggambarkan pergerakan riil pasar, karena sebagian konstituen memiliki free float terbatas dan tidak aktif diperdagangkan.
Lebih jauh lagi, porsi free float yang kecil dapat memengaruhi minat investor institusional, baik domestik maupun asing. Investor institusional umumnya mencari saham dengan likuiditas tinggi agar dapat masuk dan keluar pasar dengan efisien. Ketika free float terlalu rendah, risiko konsentrasi kepemilikan meningkat, dan potensi gejolak harga menjadi lebih besar. Oleh karena itu, meningkatkan free float tidak hanya penting bagi likuiditas, tetapi juga bagi stabilitas harga dan daya tarik pasar modal Indonesia di mata investor global.
Alasan di Balik Kajian Penyesuaian
Langkah BEI ini bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah emiten yang melakukan IPO dengan porsi saham publik sangat kecil, bahkan di bawah 10%. Kondisi ini membuat saham-saham tersebut cenderung tidak likuid dan mudah digerakkan oleh segelintir pihak. Selain itu, rendahnya free float juga menghambat representasi harga saham terhadap nilai fundamental perusahaan, karena harga terbentuk oleh volume transaksi yang terbatas.
Dengan menaikkan ambang batas free float, BEI ingin memperkuat kualitas pasar sekaligus meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor global. Banyak bursa di dunia, seperti London Stock Exchange, Filipina, dan Singapura yang sudah menetapkan batas 10%, sementara Bursa Malaysia, Jepang, dan Hong Kong mencapai level 25%. Dengan demikian, langkah BEI ini juga merupakan upaya harmonisasi terhadap praktik internasional agar pasar modal domestik tetap kompetitif.
Dampak terhadap Perusahaan yang Akan IPO
Jika aturan ini diterapkan, perusahaan yang berencana melakukan IPO perlu menyesuaikan strategi penawaran sahamnya. Dengan porsi free float minimal 30%, perusahaan harus melepas saham lebih besar kepada publik, sehingga potensi dana yang dihimpun pun meningkat. Hal ini bisa menjadi keuntungan jika perusahaan memang membutuhkan pendanaan besar untuk ekspansi, namun bisa menjadi tantangan bagi perusahaan yang masih ingin mempertahankan kontrol mayoritas pemegang saham pendiri.
Selain itu, penetapan free float tinggi berpotensi memengaruhi valuasi saham di pasar perdana. Dengan jumlah saham beredar yang lebih besar, harga per lembar saham saat IPO mungkin perlu disesuaikan agar tetap menarik bagi investor. Namun, di sisi positif, peningkatan free float dapat memperkuat persepsi transparansi dan profesionalisme emiten di mata publik, karena kepemilikan perusahaan menjadi lebih tersebar dan diawasi oleh lebih banyak pihak.
Dampak terhadap Investor dan Likuiditas Pasar
Bagi investor, kebijakan ini berpotensi menghadirkan dampak positif jangka panjang. Free float yang lebih besar berarti likuiditas pasar meningkat, sehingga investor lebih mudah membeli atau menjual saham tanpa harus khawatir tentang kesulitan mencari lawan transaksi. Selain itu, harga saham akan lebih mencerminkan kekuatan pasar secara wajar karena terbentuk dari volume transaksi yang lebih luas dan representatif.
Namun, dampak jangka pendek mungkin tidak selalu positif. Peningkatan pasokan saham dari emiten baru bisa menimbulkan tekanan harga di awal perdagangan. Hal ini umum terjadi ketika jumlah saham yang beredar meningkat secara signifikan. Meski demikian, efek tersebut biasanya bersifat sementara dan akan stabil seiring meningkatnya partisipasi investor.
Dari perspektif investor institusional, seperti reksa dana atau dana pensiun, kebijakan ini justru memberikan peluang yang lebih besar. Mereka membutuhkan saham-saham dengan likuiditas tinggi agar dapat masuk dan keluar pasar tanpa mengganggu harga. Dengan free float 30%, saham IPO akan lebih mudah masuk ke dalam portofolio besar yang memerlukan likuiditas kuat.
Potensi Penguatan Tata Kelola dan Transparansi
Related News

Penertiban Saham Gorengan dan Pentingnya Upaya Bersama

Bagaimana Market Marker & Liquidity Provider Menghidupkan Pasar Modal?

Obligasi Danantara: Kupon Rendah, Sinyal Kuat atau Tanda Waspada?

Ilusi Kue Pertumbuhan Ekonomi ala Purbaya: Siapa Dapat Porsi Terbesar?

Tiga Amunisi Pendorong Ekonomi: Outlook Cerah IHSG di Kuartal IV 2025?

Fundamental Tergusur, Sentimen Berkuasa: Alarm Waspada di Pasar Saham