Penertiban Saham Gorengan dan Pentingnya Upaya Bersama

ilustrasi grafik penguatan saham. dok/istimewa
EmitenNews.com -Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Kamis (9/10) baru saja melakukan kunjungan ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Seperti kunjungan yang dilakukan Purbaya sebelumnya di beberapa tempat, kunjungan tersebut juga langsung ramai menjadi topik pemberitaan di berbagai media.
Entah kebetulan atau tidak, menjelang penutupan jam bursa di hari tersebut, terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan beberapa saham dan membuat IHSG ikut melonjak dan kembali mencatatkan rekor all time high pada level 8.250,94. Apakah ini juga masih bagian dari “Purbaya Effect”?
Beberapa poin penting menjadi hasil kunjungan Purbaya tersebut. Satu hal paling menarik dan menjadi fokus pemberitaan media adalah saat Purbaya menyinggung soal “saham gorengan”.
Purbaya mengatakan petinggi bursa sempat mengajukan permohonan agar diberikan insentif. Namun ia mengatakan belum akan melakukannya, sampai pihak bursa bisa menertibkan perilaku investor yang banyak masih suka goreng-menggoreng saham.
Apa itu saham gorengan?
Ruang publik sontak seolah disadarkan kembali tentang fenomena saham gorengan yang terjadi di bursa kita, terlebih lagi itu disampaikan langsung oleh seorang Menteri Keuangan.
Perbincangan soal saham gorengan sebenarnya sempat ramai beberapa waktu lalu saat kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) mencuat.
Benny Tjokro alias Bentjok sebagai orang yang dituduh paling bertanggungjawab dalam pengelolaan dana Jiwasraya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Konon, Bentjok adalah “otak” sekaligus pelaku praktik jual beli saham gorengan yang membuat negara dalam hal ini dirugikan sampai puluhan triliun rupiah.
Bila kemarin tiba-tiba saja seorang Menteri Keuangan menyinggung soal saham gorengan, bukankah ingin menegaskan bahwa itu masih ada dan praktiknya juga masih terus berlanjut sampai sekarang?
Istilah apalagi defenisi saham gorengan sebenarnya tidak akan bisa kita temukan di berbagai literatur resmi manapun. Istilah ini sangat mungkin justru tercipta dari perbincangan para investor dan pelaku pasar modal.
Beberapa kalangan memang sudah mencoba mendefenisikan saham gorengan namun tentu saja itu akan selalu memiliki kelemahan dan hanya berdasarkan persepsi masing-masing.
Ada yang mendefenisikan saham gorengan adalah saham yang murah atau berkapitalisasi kecil. Persoalannya, bagaimana mengartikan “murah” dan “kecil” tersebut?
Bila defenisi murah berdasarkan nominal harga per lembar saham (misalkan di bawah Rp1000/lembar) tentu akan sangat keliru dan mudah dibantah. Apakah saham-saham seperti HMSP (HM Sampoerna), BJTM (Bank Jatim), SIDO (Sido Muncul), dan sebagainya ingin dikategorikan saham gorengan?
Ada lagi yang mencoba mendefenisikan saham gorengan sebagai saham yang kepemilikan publiknya masih kecil. Atau yang lebih berani lagi mengatakan bahwa saham gorengan adalah saham yang baru IPO. Semakin menimbulkan pertanyaan dan akan menimbulkan perdebatan, bukan?
Pada dasarnya, semua saham bisa digoreng oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Perbedaannya hanyalah, seberapa besar modal yang dibutuhkan. Tentu saja modal yang dibutuhkan saat ingin menggoreng atau menggerakkan harga saham yang kapitalisasi marketnya masih kisaran ratusan juta atau puluhan miliar akan berbeda dengan saham yang kapitalisasi marketnya sudah puluhan atau ratusan triliun.
Praktik goreng-menggoreng saham baru akan berbahaya bila sudah mengarah pada upaya memanipulasi pasar. Undang-undang Pasar Modal jelas melarang praktik haram tersebut.
Pada Pasal 91 dan 92 UU Pasar Modal secara ringkas disebutkan bahwa setiap pihak dilarang melakukan tindakan langsung atau tidak langsung yang bertujuan menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di bursa efek.
Related News

BEI Kaji Penyesuaian Free Float 30% untuk Emiten IPO, Apa Dampaknya?

Bagaimana Market Marker & Liquidity Provider Menghidupkan Pasar Modal?

Obligasi Danantara: Kupon Rendah, Sinyal Kuat atau Tanda Waspada?

Ilusi Kue Pertumbuhan Ekonomi ala Purbaya: Siapa Dapat Porsi Terbesar?

Tiga Amunisi Pendorong Ekonomi: Outlook Cerah IHSG di Kuartal IV 2025?

Fundamental Tergusur, Sentimen Berkuasa: Alarm Waspada di Pasar Saham