EmitenNews.com - Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan di level 4,75% pada akhir 2025 bukanlah sekadar angka statistik. Ini adalah pernyataan sikap.

Setelah agresif memangkas 150 basis poin sejak akhir 2024, BI kini memilih untuk "menepi sejenak" di bahu jalan, memantau spion untuk melihat pergerakan ekonomi global, sembari memastikan mesin ekonomi domestik tetap panas namun tidak overheat.

Diplomasi Moneter: Mengapa BI Memilih "Jeda Strategis"?

Bagi yang memantau portofolio, angka 4,75% adalah titik keseimbangan baru. BI sedang menjalankan peran ganda yang sangat rumit. 

Di satu sisi, mereka ingin bunga murah agar kredit mengalir sebagaimana target pertumbuhan kredit hingga 12% di 2026 menunjukkan optimisme ini. Di sisi lain, mereka dihantui oleh bayang-bayang kebijakan AS.

Dengan government shutdown di AS dan ancaman tarif perdagangan, nilai tukar Rupiah menjadi sangat rentan. BI tidak ingin gegabah menurunkan bunga lebih jauh jika itu berarti membuat investor asing lari karena selisih imbal hasil yang menipis. 

Penggunaan instrumen seperti SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) adalah "senjata rahasia" mereka untuk tetap menyedot modal asing tanpa harus menaikkan bunga pinjaman di bank-bank lokal. Ini adalah kabar baik bagi sektor riil: likuiditas tetap dijaga, namun stabilitas kurs menjadi prioritas utama.

Efek Trump & Perlambatan Tiongkok: Risiko Eksternal yang Nyata

Tahun 2026 pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi melambat ke angka 3,0%. Ini bukan sekadar angka, tapi sinyal bahwa "pesta" komoditas mungkin akan sedikit meredup. Mengapa? Tiongkok, konsumen terbesar batu bara dan CPO kita, sedang berjuang dengan permintaan domestik yang loyo.

Ditambah lagi, kebijakan proteksionisme AS menciptakan fragmentasi perdagangan global. Bagi investor, ini berarti sektor ekspor mungkin akan menghadapi hambatan margin. 

Namun, volatilitas ini justru menjadi alasan mengapa BI dan Pemerintah sangat terobsesi pada "konsumsi domestik". Jika di dunia luar sedang badai, maka rumah harus diperkuat. Inilah landasan dari proyeksi PDB yang justru naik ke angka 4,9% – 5,7% pada 2026.

Asta Cita: Bukan Sekadar Program Sosial, Tapi Mesin Pertumbuhan

Seringkali pasar melihat program seperti "Makan Bergizi Gratis" (MBG) atau pembangunan 3 juta rumah hanya sebagai beban fiskal. Namun, secara makro, ini adalah stimulus sisi penawaran (supply-side).

Pembangunan jutaan rumah akan menggerakkan lebih dari 170 sub-sektor industri, mulai dari semen, besi, hingga furniture dan perbankan (KPR), sebagai multiplier effect

Sementara dari sektor UMKM, program pangan bergizi akan menciptakan rantai pasok baru di tingkat lokal yang menyerap tenaga kerja.

Inilah alasan mengapa target pertumbuhan ekonomi 2026 dipasang lebih tinggi. Pemerintah sedang mencoba mengubah struktur ekonomi kita, dari yang tadinya sangat bergantung pada harga komoditas global, menjadi ekonomi yang digerakkan oleh perputaran uang di dalam negeri dan investasi infrastruktur kerakyatan.

Inflasi dan Daya Beli: Menjaga "Sweet Spot" Investor