Nyaris genap sebulan sejak Bank Indonesia terakhir menaikkan bunga acuan 50 basis point, mulai 20 Oktober, suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate) kembali naik 50 basis point jadi 4,75%. Sekalipun BI sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan dalam dua bulan, bunga deposito rata rata bank pemerintah tetap 2,25%, sedang bank utama swasta masih 1%. Mereka rupanya percaya sekalipun inflasi tahunan akan melampaui 6% sampai akhir tahun, masyarakat tidak akan rush menarik dana mereka dari perbankan.
Oik Heryawan Susanto (bukan nama sebenarnya) sambil bersungut sungut meninggalkan meja customer service sebuah bank BUMN. Dengan yield deposito tetap 2,25%, dan inflasi tahun kalender mendekati 5% nilai simpanannya sudah merosot hampir 3% sejak dia menaruh uangnya sebagai deposito sebulan roll over sejak 6 bulan silam. Berharap bunga deposito naik dalam waktu dekat jelas merupakan asa kosong.
Maklum dana pihak ketiga, atau DPK (deposito, tabungan, dan giro) perbankan masih cukup tebal. Apalagi mereka tetap selektif memberikan kredit. Hasilnya DPK BCA yang Rp.1.000,8 trilyun, lebih Rp.203,5 trilyun di antaranya (Rp 86,6 trilyun masuk BI) justru diamankan di laci perbankan lain. Sedang kredit yang diberikan tak lebih dari Rp.623.125 trilyun, artinya likuiditas bank milik Djarum ini sangat kuat (Laporan Keuangan Juni 2022).
BCA rupanya yakin sekalipun tampak pelit memberikan kredit, BCA yang masih mendapatkan hasil dari fee based income, kinerjanya cukup baik – sehingga investor tidak goyah mengoleksi sahamnya. Pendapatan bunga dari kredit dan pendapatan nonkredit tumbuh significant sehingga laba bersihnya naik dari Rp.13,4 trilyun (Juni 2021) ke Rp.15 trilyun (Juni 2022) lalu Rp.29 trilyun (September 2022). Harga saham BCA (ticker:BBCA) juga terus mendaki hingga pernah Rp.8.875 (September 2022).
Perbankan Indonesia, secara umum, kini lebih kuat kakinya dibandingkan dengan periode sebelum krisis moneter 1998 atau masa junk bonds Amerika meledak pada 2008. Bahkan bank pemerintah seperti Mandiri (ticker: BMRI) berani membenamkan Rp.329 trilyun ke obligasi pemerintah dari DPK Rp.1.352 trilyun lebih. Sementara kredit yang diberikan Rp.1.132 trilyun (termasuk utang pembiayaan ke konsumen Rp.20,89 trilyun). Saham BMRI juga likuid, dan ditutup Rp.10.350 (21 Okt.2022)
Mengamankan DKP ke obligasi pemerintah dan efek kemudian menjualnya kembali memberikan keuntungan cukup besar bagi Mandiri: Rp.2.506 milyar (Juni 2021), dan Rp754 milyar (Juni 2022). Lumayan bisa menambah pendapatan bunga kredit dan syariah Mandiri hingga memperoleh laba netto Rp. 41,83 trilyun (Juni 2022), dan Rp.35,12 trilyun (Juni 2021). Jadi bisa dikatakan kontribusi jual beli efek dan obligasi pemerintah ikut menopang laba bersih Mandiri selama dua tahun berturut.
Pertanyaannya, jika Mandiri lebih suka mengamankan surplus likuiditasnya ke obligasi pemerintah yang aman dan yield yang pasti lebih tinggi dari biaya dananya, fungsi intermediasinya bisa dipertanyakan mengingat banyak usaha butuh pendanaan setelah dihantam Covid-19. Apakah Mandiri takut nonperforming loan (NPL) naik, atau bankir Mandiri malas terjun mencari nasabah (baru) yang potensial?
Kinerja kedua bank papan atas itu tampaknya tetap terjaga sampai kuartal keempat 2022. Keduanya memberikan earning per share kompetitif EPS Mandiri (Rp.268,08/share Juni 2021, dan Rp 433,2/share Juni 2022), sedang BCA (Rp[.117/share Juni 2021, dan Rp.146/share Juni 2022). Silakan dihitung berapa rasio harga dibandingkan earning berjalan keduanya. Laba kuartal ke empat akan terjaga jika keduanya mulai menaikkan suku bunga DPK, dan kredit modal kerja (termasuk kredit kepemilikan rumah).
Dengan kondisi status quo pada kuartal ketiga, yakni harga perolehan DPK masih rendah (maksimal 3%) sedang suku bunga kredit sekitar 8% - 9%, perbankan Indonesia pasti masih memperoleh net interest margin (NIM) cukup tebal rata rata 5% -- bahkan Bank BRI bisa memetik NIM 11% beberapa tahun silam. NIM perbankan Indonesia terbilang tinggi dibandingkan perbankan Singapura atau Malaysia yang hanya sekitar 2%, sedang NIM perbankan Jepang di bawah 1%.
Suku bunga tinggi hingga 9% sedang biaya memperoleh DPK hanya 2%, menurut Jusuf Kalla, tidak sehat untuk ekonomi dan usaha. Ia berharap BI dan OJK tetap menjaga efisiensi dan daya saing perbankan RI dengan menjaga spread (antara biaya DPK dan suku bunga dasar kredit, SBDK) yang wajar dengan, misalnya, mengacu pada SBDK perbankan Thailand yang 6%. “Apabila bunga bank makin rendah, risiko kredit macet relatif rendah, dan dunia usaha akan lebih efisien, hingga daya saing akan lebih baik,” tulis Jusuf Kalla (Kompas 11 Agustus 2022).
Menurut Jusuf Kalla, wakil Presiden 2014-19, BI meminta waktu dua tahun untuk menurunkan SBDK mendekati SBDK negara tetangga. Apa boleh buat, cita cita itu kini terpinggirkan setelah Federal Reserve Bank (AS) dan bank sentral banyak negara menaikkan suku bunga acuan mereka. Greenback menguat, asing ramai melikuidasi investasi portfolio mereka di pasar keuangan dan saham. Perbankan harus mengatur kembali rencana bisnisnya.
Sementara deposan semacam Oik Heryawan Susanto harus sabar menunggu perubahan suku bunga simpanannya. Jika tak sabar terbuka peluang mencoba masuk pasar modal, namun pekerja di bank swasta itu, takut berinvestasi di pasar modal.
Related News
Andalkan Konsumsi, Pemerintah Optimis Pertumbuhan 8 Persen Tercapai
Hingga 17 Desember Rupiah Melemah 1,37 Persen dari November 2024
Ekonomi Global Belum Kuat, Ekspor Nonmigas Diprakirakan Melambat
RUPSLB Bundamedik (BMHS) Angkat Retno Marsudi jadi Komisaris
Sinarmas Multiartha (SMMA) Tawarkan Obligasi Berkelanjutan Tahun 2025
Setor Modal Rp221,47M, bjbr Pemegang Saham Pengendali Bank Jambi