Sedangkan, di lain pihak, KPK justru menyimpulkan bahwa terjadi kegiatan yang intinya berujung pada gratifikasi, yaitu penerimaan yang dilakukan seseorang berkaitan dengan jabatannya, yang kemudian hal tersebut dikualifikasikan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.

 

"Sehingga perlu dipertanyakan, mengapa dulu KPK ketika mengusut pertama kali, tidak fokus pada perbuatan (perbuatan hukum yang merugikan negara) itu? Kenapa KPK tidak menuntut dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Korupsi, tapi malah lebih memilih pasal gratifikasi, sehingga pendekatan UU Korupsi itu kemudian yang sekarang dipakai oleh Kejaksaan. Itu pertanyaan besarnya," ungkap Abdul.

 

Sehingga, lanjut Abdul, fokus persoalan saat ini adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu, itu masih bisa diadili lagi lewat proses hukum yang berbeda.

 

Sebagaimana yang telah diceritakan oleh Penasehat Hukum Emirsyah, dari satu rangkaian kegiatan yang sama, ada lima perbuatan pengadaan pesawat yang oleh KPK dijadikan dasar untuk kasus gratifikasi.

 

Sedangkan, dalam dakwaan Kejaksaan, menurut informasi dari kuasa hukum tadi, hanya dua perbuatan pengadaan yang dijadikan dasar atas kasus perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.

 

"Dan dua (perbuatan) itu merupakan bagian dari lima (perbuatan) yang sudah pernah dituntut oleh KPK. Sehingga jelas bisa disimpulkan bahwa ini sebenarnya mengadili perbuatan yang sudah pernah diadili. Atau bahasa hukumnya Ne Bis In Idem. Jadi tidak boleh," tegas Abdul.