EmitenNews - Lembaga pemeringkat Fitch menilai peluncuran Souvereign Wealth Fund (SWF) atau dana kekayaan negara oleh pemerintah lewat pembentukan Indonesia Investment Authority (INA) tampaknya tidak akan menghasilkan penurunan jangka pendek dalam tingkat leverage di antara negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi mereka mengingatkan risio pemerintah jorjoran dalam membangun infrastruktur.


Pemerintah membentuk INA dengan tujuan meningkatkan investasi infrastruktur. Modal dasarnya terdiri dari suntikan dana awal sebesar Rp15 triliun, dan terdapat rencana untuk menambah lagi Rp60 triliun aset pada akhir tahun 2021, dalam bentuk kas, aset negara, piutang pemerintah, dan saham BUMN atau perseroan terbatas. INA dapat berinvestasi di proyek-proyek yang dipimpin sektor swasta dan BUMN, dan memiliki wewenang untuk meminjamkan dan meminjam.


Fitch di laman resminya melihat ada sedikit kejelasan pada tahap ini tentang saluran yang akan digunakan untuk menginvestasikan dana INA.


"INA dapat mengurangi tingkat leverage yang tinggi di antara BUMN Indonesia yang bergerak di bidang infrastruktur yang telah membatasi kapasitas mereka untuk meningkatkan investasi," tulis pemeringkat yang berbasis di Hong Kong.


Menurutnya ini bisa dilakukan, misalnya, dengan menguasai aset proyek yang ada, atau mengurangi tekanan pada BUMN untuk meningkatkan hutang guna mendukung kontribusi ekuitas mereka dalam proyek-proyek baru dengan menyumbangkan modal.


Fitch memperkirakan INA akan mendorong deleveraging yang signifikan di antara BUMN Indonesia secara agregat rendah dalam waktu dekat. Modal INA relatif kecil dibandingkan dengan skala utang di antara BUMN yang bergerak di sektor strategis, seperti konstruksi, jalan tol, dan minyak dan gas. Sebagai contoh total utang perusahaan konstruksi milik negara Indonesia lebih dari Rp170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina (Persero) sekitar Rp300 triliun per akhir Juni 2020.


"Ada kemungkinan bahwa keterlibatan INA dalam proyek tertentu dapat mengurangi leverage di BUMN tertentu. Tetapi ini juga akan bergantung pada keputusan strategis perusahaan yang terlibat."


Fitch mengingatkan adanya risiko bahwa bantuan modal yang diberikan oleh INA dapat terkikis jika BUMN menyalurkan kembali dana yang dikeluarkan untuk proyek infrastruktur baru. "Risiko ini cukup besar mengingat keinginan pemerintah untuk mempercepat investasi tersebut," tegasnya.


Percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia kemungkinan memerlukan tambahan modal di luar rencana INA, yang relatif kecil dibandingkan dengan anggaran infrastruktur pemerintah untuk tahun 2021 sebesar Rp417 triliun, atau rencana investasi Pertamina lebih dari USD90 miliar (sekitar Rp1.300 triliun) selama enam tahun ke depan.


"Kami berharap proyek infrastruktur seperti jalan tol, nonmigas, akan menjadi prioritas utama INA karena multiplier effectnya terhadap pertumbuhan ekonomi."


Kapasitas INA untuk memobilisasi dana dapat diperkuat jika INA mampu menyalurkan modal luar negeri untuk investasi infrastruktur Indonesia. Sejumlah dana asing dan badan pembangunan yang didukung negara, seperti US International Development Finance Corporation telah menunjukkan minat dalam kemitraan investasi dengan INA.


Ada kemungkinan bahwa posisi hukum dan politik yang memiliki hak istimewa dari otoritas tersebut dapat memberikan jaminan yang lebih besar kepada mitra asing yang ingin berinvestasi dalam infrastruktur. Pasal 72 peraturan yang menetapkan INA mengatur bahwa INA tidak dapat dinyatakan default kecuali terbukti pailit berdasarkan uji kepailitan yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan.


"Ini akan membuat INA kurang rentan terhadap klaim kebangkrutan dari kreditor nakal, yang mungkin mengajukan petisi kebangkrutan berdasarkan klaim yang dapat diabaikan dan atas dasar yang tidak berdasar," Fitch mengingatkan.(*)