EmitenNews.com—Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), David Utama mengaku bahwa kinerja keuangan di Kuartal III-2022 mulai berbalik positif, setelah per semester pertama tahun ini mencatatkan rugi bersih sebesar sebesar Rp205,12 miliar.


Menurut David, pada tahun ini KAEF akan lebih fokus pada operational excellence sebagai perusahaan integrated healthcare. "Kinerja keuangan kami pada Juli, Agustus dan September tahun ini nilainya sudah positif semua. Jadi, nilainya itu sudah turn up semua," kata David, Jakarta, Senin (3/10).


Dia mengatakan, rugi bersih yang dialami oleh KAEF per Semester I-2022 dikarenakan pada sisi market masih memiliki akses biaya yang luar biasa besar. Seperti diketahui, beban pokok penjualan KAEF pada Semester I-2022 mencapai Rp2,95 triliun atau menurun 20,27 persen (year-on-year).


Sementara itu, total penjualan yang dibukukan KAEF selama enam bulan pertama tahun ini sebesar Rp4,43 triliun atau mengalami penurunan 20,32 persen dibanding Semester I-2021 yang mencapai Rp5,56 triliun.


Pada Semester I-2022, KAEF juga mencatatkan peningkatan beban usaha sebesar 3,87 persen (y-o-y) menjadi Rp1,61 triliun dan adanya rugi selisih kurs senilai Rp1,76 triliun, maka KAEF mengalami rugi usaha mencapai Rp15,67 triliun. Pada Semester I-2021, perseroan masih membukukan laba usaha sebesar Rp357,75 miliar.


Selama enam bulan pertama tahun ini, KAEF mencatatkan jumlah rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp205,12 miliar. Seperti diketahui, pada Semester I-2021, perseroan masih bisa membukukan laba bersih Rp57,6 miliar.


Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) melalui anak usahanya, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) berkomitmen untuk mengembangkan dan memproduksi bahan baku obat (BBO), sejalan dengan program pemerintah terkait kemandirian farmasi dan alat kesehatan.


Menurut David Utama, Kimia Farma sebagai anggota Holding BUMN Farmasi bertekad untuk mendukung program kemandirian farmasi dan alat kesehatan, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.


"Kimia Farma melakukan dukungan melalui pengembangan dan produksi BBO dalam negeri bersama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia selaku anak usaha," ujar David.


Sebelumnya, KAEF menggandeng perusahaan asal Korea Selatan, Sung Wun Pharmacopia Co Ltd untuk membentuk perusahaan patungan, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Kerjasama ini untuk membangun dan meningkatkan kapabiltas riset pengembangan maupun teknologi BBO, sehingga bisa menghasilkan BBO yang berstandar kualitas internasional.


David menyebutkan, pembangunan fasilitas produksi BBO tersebut berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Saat ini, KFSP sudah memilki sertifikat mengenai Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).


Dia menyampaikan, pengembangan BBO dilakukan sesuai dengan program pemerintah dan prioritas kebutuhan nasional. Sampai 2022, perusahaan telah berhasil memproduksi 12 item BBO bersertifikat GMP dari Badan POM dan siap digunakan oleh industri farmasi.


Adapun BBO tersebut adalah, sebanyak tiga item BBO anti kolesterol (Simvastatin, Atorvastatin dan Rosuvastatin), satu BBO anti platelet untuk obat jantung Clopidogrel), dua BBO anti virus (Entecavir dan Remdesivir), empat item BBO anti retroviral (ARV) untuk HIV AIDS (Tenofovir, Lamivudin, Zidovudin dan Efavirenz), satu BBO untuk diare (Attapulgite) dan satu BBO antiseptic dan desinfectan (Iodium Povidon).


Lebih lanjut David mengatakan, upaya KAEF tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 yang menjelaskan mengenai bobot untuk komponen BBO sebesar 50 persen.


"Dengan adanya peningkatan kualitas fasilitas produksi dan inovasi dari Kimia Farma, maka diharapkan perseroan dapat berperan dalam menurunkan jumlah impor bahan baku obat atau Active Pharmaceutical Ingredients (API), serta dapat mengoptimalisasi penggunaan BBO di dalam negeri," paparnya.