Harga Minyak Sudah Naik 8 Persen Lebih Dampak Konflik Iran-Israel

Konflik geopolitik antara Israel dan Iran semakin menambah ketegangan geopolitik dunia yang memicu lonjakan harga minyak lebih dari 8 persen dari kisaran USD70 per barel menjadi USD78 per barel.
EmitenNews.com - Konflik geopolitik antara Israel dan Iran semakin menambah ketegangan geopolitik dunia yang memicu lonjakan harga minyak lebih dari 8 persen dari kisaran USD70 per barel menjadi USD78 per barel. Di sisi lain, belum tercapainya kesepakatan antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga turut menambah ketidakpastian.
Dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di pasar energi, di mana peran Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama—yang menyumbang hampir 30% produksi global—membuat pasar waspada. Gangguan pada produksi energi Iran yang produksinya mencapai 3,2 juta barel per hari akan memicu gangguan pasokan sekaligus memicu fluktuasi harga energi dipasar internasional.
Harga minyak Brent telah berfluktuasi antara USD73 hingga USD92 per barel paska perang Iran-Israel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15-20% pada 2025. Volatillitas harga energi dunia ini juga semakin tinggi seiring dengan munculnya ancaman penutupan selat Hormuz yang telah menjadi urat nadi jalur pasokan energi dunia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Jakarta pada Selasa (17/6) mengatakan risiko ketegangan di Timur Tengah adalah meningkatnya ketidakpastian yang disebagian harga-harga cenderung naik, seperti harga minyak yang naik. Namun di sisi lain, dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah.
"Jadi kombinasi kenaikan harga harga karena disrupsi geopolitik dan security itu menyebabkan tekanan harga, berarti inflasi naik, dikombinasikan dengan ketidakpastian yang menyebabkan ekonomi global melemah. Itu kombinasi yang harus kita waspadai,” ungkap Menkeu.
Situasi ini juga turut menekan sektor infrastruktur. Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Global Mei 2025 berada pada level 49,6 yang merupakan terendah sejak Desember 2024. Sebanyak 70,8 persen negara ASEAN dan G20 mengalami kontraksi, termasuk Indonesia di 47,4.
Ini adalah dampak dari kondisi geopolitik yang makin rentan yang menyebabkan implikasi pada kegiatan ekonomi, ekspor, impor, manufaktur, dan juga sisi capital flow yang berdampak kepada seluruh dunia.
"Risiko bagi Indonesia terlihat dengan global economic melemah kemungkinan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor kita. Harga komoditas ada yang pick up sangat tinggi, bukan karena supply demand dalam artian biasa, tapi lebih karena disruption karena adanya disrupsi,” jelas Menkeu.
Nilai tukar juga cenderung mengalami volatilitas dan suku bunga utang meningkat, terutama karena kebijakan fiskal di Amerika Serikat
Prospek pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia masih lemah. IMF dan World Bank melakukan koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 menurun menjadi 2,8 persen dan 2,3 persen. Sementara untuk volume perdagangan proyeksi IMF di 1,7 persen, angka ini turun signifikan dari tahun 2024 sebesar 3,8 persen.
Di tengah kondisi ekonomi yang melemah dan pasar global yang tidak stabil, indikator ekonomi Indonesia masih terjaga. Ini terlihat dari indeks kepercayaan konsumen sebesar 117,5 yang masih relatif di zona optimis, penjualan sektor riil yang membaik di 2,6, konsumsi listrik yang tumbuh positif 4,5 persen untuk bisnis dan 6,7 persen untuk industri manufaktur, serta penjualan semen yang tumbuh signifikan 29,98 persen.
Selain itu, pemerintah juga berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi sehingga tetap resilien di 4,87 persen pada triwulan I-2025. Inflasi juga terkendali di 1,6 persen (year-on-year/yoy) dengan kontribusi volatile food rendah yang berarti harga pangan terjaga baik, administered price 1,36 persen yang merupakan refleksi dari kebijakan pemerintah dan inflasi inti di 2,4 persen yang memperlihatkan bahwa masih ada demand dalam ekonomi.
Menkeu mengatakan, kuatnya ekonomi Indonesia ini tidak lepas dari peran APBN yang terus dikelola secara hati-hati, tapi tetap ekspansif sebagai instrumen countercyclical guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan memperkuat fondasi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Pendapatan negara hingga 31 Mei 2025 terealisasi sebesar Rp995,3 triliun dipengaruhi oleh ekonomi global, geopolitik, dan perkembangan harga komoditas. Belanja negara sebesar Rp1.016,3 triliun mempengaruhi kondisi ekonomi antara lain melalui berbagai program prioritas untuk menjaga ekonomi nasional.
Defisit APBN juga terkendali di 0,09 persen Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menghadapi tekanan dan pelemahan ekonomi agar tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi dan masyarakat dengan surplus keseimbangan primer Rp192,1 triliun.
“Di tengah tensi global yang memuncak dan volatilitas dari pasar keuangan maupun perekonomian global, Indonesia tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi dan juga menjaga stabilitas kebijakan fiskalnya yang responsif dan adaptif, namun tetap terjaga dari sisi kesehatan APBN-nya sendiri,” pungkas Menkeu.(*)
Related News

Menperin Ingatkan Industri Bersiap Hadapi Dampak Konflik Timur Tengah

Suplai OPEC+ Naik, ICP Mei Turun ke USD62,75/Barel

BI Pertahankan Suku Bunga Acuan di 5,5 Persen

Sudah Rp4,4 Triliun Dibelanjakan untuk Program MBG

Konflik Iran - Israel Mulai Ganggu Rantai Pasok Perdagangan RI

BPJS Ketenagakerjaan Apresiasi Grab dan Kementerian UMKM, Ini Sebabnya