EmitenNews.com -Usai menorehkan rekor tertinggi di level 8.017,07 pada pukul 10.28 WIB, Jumat, 15 Agustus 2025, bertepatan dengan momentum perayaan HUT Kemerdekaan RI, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya menembus ambang level psikologis 8.000 dan mencatatkan rekor penutupan baru. Data menunjukkan, indeks ditutup di level 8.025,17 pada 17 September setelah Bank Indonesia secara mengejutkan memangkas suku bunga BI 7DRR menjadi 4,75%—terendah sejak akhir 2022.

IHSG konsisten menunjukkan ketangguhannya dengan bertahan di atas ambang psikologis 8.000. Beberapa sesi perdagangan kemudian, IHSG kembali menanjak, melewati level 8.142, mengukuhkan status all-time high-nya. Namun, bagi investor yang mencermati lebih dalam, terdapat kondisi anomali, di mana empat saham bank besar—Bank Central Asia (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), Bank Negara Indonesia (BBNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI)—justru stagnan, bahkan cenderung melemah. Di tahun ketika IHSG melonjak lebih dari 13%, saham perbankan big cap justru terkoreksi dalam rentang 6% hingga 23%.

Pendorong Reli Indeks

Kebijakan Moneter dan Rotasi Sektor

Kenaikan tajam IHSG sangat ditopang oleh kebijakan moneter. Sejak 2024, Bank Indonesia telah memangkas suku bunga secara agresif, dengan pemotongan keenam pada September 2025 yang membawa suku bunga acuan ke 4,75% atau 150 basis poin YTD. Langkah ini menandakan kesediaan Bank Indonesia mendukung pertumbuhan di tengah inflasi yang tetap terjaga. Likuiditas pun mengalir ke aset berisiko, imbal hasil obligasi menurun, dan investor beralih ke ekuitas.

Data BEI menunjukkan, sektor industri dan teknologi memimpin penguatan—masing-masing naik 2,83% dan 2,47%. Modal berpindah ke saham siklikal dan teknologi, bukan lagi sektor keuangan atau perbankan yang memimpin pasar.

Arus Asing dan Optimisme Domestik

Meskipun investor asing masih mencatat net sell sekitar Rp152 miliar pada hari pemangkasan suku bunga, posisi inflow asing secara keseluruhan membaik. Momentum IHSG mencerminkan keyakinan investor domestik pada ketahanan makroekonomi Indonesia di tengah perlambatan global.

Inflasi tetap dalam target BI 2–4%, rupiah relatif stabil, dan komitmen pemerintah terhadap belanja infrastruktur menopang laba korporasi. Dari perspektif global, Indonesia menawarkan kombinasi yang menarik: penerimaan berbasis komoditas, pertumbuhan kelas menengah yang berkelanjutan, serta penetrasi ekonomi digital yang terus berkembang—karakteristik yang dicari manajer portofolio internasional.

Mengapa Saham Big Banks Tertinggal?

Pertumbuhan Laba yang Kurang Menggairahkan

Sekilas, kinerja bank besar tidak menunjukkan krisis. BBCA membukukan laba bersih Rp25,2 triliun per Mei 2025 (naik 18% yoy); BMRI Rp19,7 triliun (naik 15,5%); BRI tetap mengandalkan segmen mikro; sedangkan BNI mencatat laba Rp8,6 triliun, hanya turun 1%.

Namun, angka ini hanya sesuai ekspektasi—tidak cukup untuk menopang PBV tinggi yang secara historis melekat pada bank besar. Investor yang berharap pertumbuhan kredit dua digit dan margin bunga bersih melebar justru kecewa. Margin bunga bersih BMRI, misalnya, tertahan di 4,45% karena biaya dana tidak turun secepat suku bunga pinjaman.

Tekanan Valuasi dan Rotasi Sektor

Satu dekade terakhir, bank besar menikmati valuasi premium berkat pangsa pasar dominan dan laba stabil. Kini, dengan suku bunga acuan di level terendah tiga tahun, margin bunga lebih cenderung tertekan daripada melebar. Sementara itu, sektor industri, komoditas, dan teknologi justru menunjukkan momentum laba.

Dampaknya: rotasi modal menjauh dari saham perbankan. Saham BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI kompak melemah pada perdagangan Rabu (1/10/2025) hingga penutupan pukul 16.00 WIB, sementara IHSG bertahan di level 8.070,43. Investor asing tampak lebih tertarik pada eksportir dan saham komoditas ketimbang emiten bank.

Tata Kelola dan Siklus Kredit

Industri perbankan Indonesia tunduk pada regulasi ketat OJK dengan persyaratan modal tinggi. Non-performing loan relatif terkendali, namun siklus kredit mulai matang. Pertumbuhan kredit melambat ke level menengah tunggal karena korporasi menunda ekspansi akibat ketidakpastian global.

Regulator juga mendorong bank mendukung pembiayaan mikro (pembiayaan Koperasi Merah Putih) dan proyek hijau, yang kerap memberikan margin lebih tipis. Investor global, yang belajar dari pasar berkembang lain, cenderung menurunkan ekspektasi terhadap sektor perbankan Indonesia.

Perspektif Investor Global

Bagi pihak luar, reli IHSG tampak menggoda sekaligus rapuh. Di satu sisi, ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 5% per tahun, inflasi terkendali, dan bank sentral masih punya ruang pelonggaran. Bonus demografi, sumber daya alam melimpah, serta penetrasi digital yang meningkat menjadi daya tarik.

Namun di sisi lain, kondisi global tidak seideal itu: The Fed mengisyaratkan suku bunga tinggi lebih lama, harga komoditas berfluktuasi, dan perlambatan China menekan ekspor kawasan. Bagi manajer dana global, situasi ini menuntut strategi selektif ketimbang optimisme membabi buta. Diversifikasi ke Asia Tenggara tetap berlanjut, tetapi fokus cenderung pada emiten dengan pendorong pertumbuhan struktural di luar perbankan tradisional.

Prospek IHSG Tiga Bulan ke Depan

Memprediksi dinamika pasar di negara berkembang menuntut kombinasi antara ketepatan ilmiah dan intuisi analitis. Meski demikian, beberapa skenario berikut umumnya menjadi acuan para pelaku pasar:

  • Skenario dasar (probabel): IHSG terkonsolidasi di rentang 7.800–8.300. Laporan keuangan Q3 diperkirakan beragam—industri dan teknologi solid, perbankan medioker. Arus masuk asing bisa kembali moderat jika rupiah stabil dan imbal hasil AS melandai. Volatilitas cenderung meningkat menjelang akhir tahun.

  • Skenario bullish: Jika BI kembali memangkas suku bunga dan pasar global reli karena harapan soft landing, IHSG berpotensi menguji 8.400–8.600. Asumsinya, harga komoditas pulih dan laba korporasi melebihi ekspektasi. Saham teknologi dan energi terbarukan bisa mendorong indeks, sementara saham bank stabil.