Indonesia Raja Nikel: Harusnya Kaya Raya?

ilustrasi produk nikel.DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Nikel adalah salah satu mineral dengan cadangan terbesarnya terletak di tanah Indonesia. Beberapa tahun terakhir bisnis nikel begitu menarik dan banyak orang kaya baru yang muncul dari bisnis ini. Semakin banyaknya pebisnis yang terjun ke bisnis nikel berbanding lurus dengan meningkatnya permintaan nikel di pasar global. Adapun penggunaan nikel terbesar yaitu sebanyak 65% digunakan untuk pembuatan stainless steel, 15% untuk baterai, dan sisanya untuk industri otomotif. Cadangan nikel di seluruh dunia diperkirakan mencapai 123 juta ton, dimana hampir 50% dari cadangan tersebut terletak di tanah Indonesia. Indonesia berada di posisi pertama dengan cadangan nikel terbesar mencapai 55 juta ton, di posisi kedua ada Australia dengan cadangan sebanyak 24 juta ton, dan di posisi ketiga ada Brazil dengan cadangan nikel 16 juta ton.
Lalu bagaimana dengan produksi nikelnya? Total produksi nikel secara global mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2000-2010 yang hanya berkisar 1-1,5 juta ton menjadi 3,7 ton di tahun 2023. Namun produksinya sempat mengalami penurunan di tahun 2014 karena adanya pelarangan ekspor nikel mentah dari Indonesia, dan kemudian kembali mulai naik signifikan di tahun 2020 ketika sudah mulai banyak dibangun smelter. Di Indonesia sendiri, produksi nikel di tahun 2023 mencapai 1,7 juta ton atau meningkat hampir 10 kali lipat dibandingkan produksi nikel di tahun 2014. Di posisi kedua, produsen nikel terbesar adalah Filipina dengan 365 ribu ton, dimana angka ini hanya mencapai 21% dari total produksi nikel Indonesia. Bahkan China yang merupakan konsumen nikel terbesar, hanya memproduksi 110 ribu ton nikel sepanjang tahun 2023.
Dengan adanya smelter, nikel mentah mengalami pertambahan nilai setelah diolah menjadi beberapa produk setengah jadi antara lain Feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NIP) yang merupakan bahan baku utama pembuatan stainless steel, nickel matte yang merupakan bahan baku pembuatan baterai baik baterai listrik maupun baterai kendaraan listrik, dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) yang juga merupakan komponen utama dalam pembuatan baterai kendaraan mobil listrik dan pembuatan baja tahan karat. Di sepanjang tahun 2020, Indonesia banyak mengekspor feronikel dan NPI, serta sedikit nickel matte.
Namun sejak pertengahan 2021, Indonesia mulai mengekspor MHP yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hingga saat ini, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia sekaligus merupakan produsen dan eksportir nikel tertinggi di pasar global.
Dengan banyaknya permintaan disertai harga jual yang tinggi, banyak pemain baru yang terjun ke bisnis nikel dan tentu saja meraup keuntungan besar. Beberapa emiten yang memproduksi nikel mencatat kenaikan pendapatan signifikan bahkan mencapai lima kali lipat pada akhir tahun 2024 dibandingkan tahun 2020. Namun tidak hanya perusahaan lokal yang memproduksi nikel di Indonesia tapi juga ada perusahaan asing, antara lain Tsingshan Holdings dan Gunbuster Nickel Industry (GNI) milik Delong Group. Kedua perusahaan ini sering disebut sebagai raksasa smelter nikel di Indonesia, yang dikabarkan sudah mulai memangkas produksinya hingga 50-80% pasca berkurangnya permintaan stainless steel China akibat faktor geopolitik. Pemangkasan produksi smelter khususnya yang memiliki teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang menghasilkan feronikel ini juga diikuti oleh beberapa perusahaan lainnya seperti PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI).
Di Indonesia sendiri sudah banyak pihak mengajukan moratorium RKEF, yaitu membatasi pembangunan dan perizinan baru terkait smelter nikel RKEF. Hal ini dilakukan karena tingkat produksi tahunan kadar nikel tinggi atau saprolite sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar, sekaligus untuk menjaga cadangan nikel jenis saprolite di Indonesia yang diperkirakan hanya tersisa untuk 9-13 tahun lagi. Lalu bagaimana dengan para investor yang sudah terlanjur mendapat izin untuk membangun smelter? Investor didorong untuk membangun smelter nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang mengolah nikel dengan kadar rendah atau limonit, menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik atau EV. Namun untuk realisasinya akan dikembalikan kepada keputusan pemerintah, karena pembatasan ini tidak sejalan dengan target hilirisasi pemerintah.
Dilihat dari sisi harga, tingginya pasokan dan rendahnya permintaan membuat harga nikel global jatuh ke level terendahnya sejak tahun 2020 ke level USD 15.078 per ton. Penyebabnya antara lain karena adanya oversupply nikel di pasar global dan faktor geopolitik yang menyebabkan ekonomi China saat ini mengalami pelemahan. Hingga saat ini, industri stainless steel sendiri masih dikuasai oleh China sehingga akan sulit bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar. Jika pemerintah menyetujui rencana moratorium RKEF, maka ini akan jadi katalis positif untuk kenaikan harga nikel global.
Lalu bagaimana efek dari kekayaan Indonesia ini bisa memiliki dampak terhadap rakyat dan para investor? Meski tidak terjun langsung ke bisnis nikel, kita dapat membeli saham dari emiten-emiten yang terdaftar di bursa untuk ikut mendapatkan keuntungan di bisnis ini.
Adapun emiten yang memproduksi feronikel antara lain PT Antam Tbk (ANTM) dan PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) yang juga memiliki smelter untuk produksi feronikel dan NPI. Sementara PT Vale Indonesia Tbk (INCO) lebih fokus pada produksi nickel matte, yang merupakan bahan baku penting untuk industri stainless steel dan baterai kendaraan listrik. Lalu emiten yang fokus pada produksi MHP untuk memenuhi kebutuhan bahan baku baterai listrik antara lain PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL). Terakhir ada pula PT Ifishdeco Tbk (IFSH) yang memproduksi bijih nikel (nickel ore) sekaligus memproduksi feronikel dan NPI melalui anak usahanya.
Related News

Energi Hijau dan Pasar Saham: Diantara Harapan dan Kerusakan

Inflasi Makin Jinak, Tapi Harga Gak Kunjung Turun: Kenapa Bisa Begitu?

Jebakan Dividen: Ketika Saham Blue Chip Tak Lagi Jadi Pilihan Aman

Menjelajah Lorong Ketidakpastian: Prospek Pasar Modal Indonesia Q3

Menyongsong Era Resesi Global: Apa Artinya bagi Ekonomi Indonesia?

Valuasi vs Realitas: Mengapa Banyak Startup Gagal Setelah IPO?