EmitenNews.com - Mari berhitung. Kalau harga sebuah saham IPO di seratus perak, berarti kita akan mengeluarkan uang Rp10.000 untuk mendapatkan 1 lot saham. Kalau harganya dua ratus lima puluh perak, kita akan mengeluarkan Rp25.000. Kalau lima ratus perak, berarti Rp50.000. Dan seterusnya.

Kalau dapatnya puluhan atau ratusan atau ribuan lot? Tinggal dikalikan saja. Tapi, nyatanya dan biasanya dan sudah jadi rahasia umum, kalau dapatnya tidak lebih banyak dari jumlah jari-jari di tangan. Itu pun kalau “beruntung”. Kalau apes, ya 1 lot itu tadi, walaupun sudah pesan berlot-lot di awal masa penawaran. Ya begitulah, nasib investor ritel.


Kalau harganya saat listing kemudian naik ARA (auto reject atas) beberapa kali hingga naik 2 kali lipat, berarti kita sudah untung Rp10.000 atau Rp25.000 atau Rp50.000. Kalau naik 3 kali lipat atau 5 kali lipat, silakan hitung sendiri. Terdengar menarik? Mungkin. (Don’t get me wrong, gua gak memandang rendah arti duit segitu.)

Sementara di seberang sana, si perusahaan newbie itu dan underwriter-nya bersukacita. Banyaknya “peminat” sungguh meringankan luar biasa langkah awalnya menghimpun jumlah investor seperti disyaratkan oleh peraturan, minimal 500 pihak. “Memberi cuan” kepada 500 pihak, dikalikan -misalnya- angka di awal kita tadi, dapatlah angka Rp5 juta hingga Rp25 juta untuk 1 kali ARA. Kalau ARA 3 dan 5 kali, mudah saja menghitungnya. Sebuah angka persentase teramat kecil, kalau dibandingkan dengan puluhan atau ratusan miliar yang diraup dari hasil IPO.


Mengejar-ngejar, mengais-ngais, mengemis-ngemis saham IPO, hanya untuk pada akhirnya “dihadiahi” 1 lot? Semoga kita tetap bangga dengan predikat kita sebagai “investor”, tanpa embel-embel “pengemis”. Salam!