EmitenNews.com -Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan sekaligus Nota Keuangan RAPBN 2026 pada 15 Agustus lalu—dokumen fiskal perdana yang benar-benar mencerminkan arsitektur kebijakan pemerintahannya. Bagi investor, pesannya jelas: ambisi pertumbuhan tetap hidup, namun harus jalan beriringan dengan disiplin fiskal dan eksekusi yang meyakinkan.

Angka Besar yang Perlu Dicermati Pasar

Dalam RAPBN 2026, pos belanja negara dianggarkan sebesar Rp3.786,5 triliun dan pos pendapatan sebesar Rp3.147,7 triliun, dengan defisit 2,48% PDB (sekitar Rp638,8 triliun). Target pertumbuhan dipatok 5,4% dengan inflasi 2,5% dan asumsi kurs rata-rata Rp16.500 per dolar AS. Ini juga disertai komitmen untuk mengikis defisit hingga berimbang (defisit 0%) pada tahun 2027–2028.

Dua sinyal yang disukai pasar: pemerintah menyatakan tidak akan mengenakan pajak baru pada 2026, dan perbaikan penerimaan akan dikejar lewat reformasi internal administrasi perpajakan. Namun, target kenaikan penerimaan nyaris 10% tetap menuntut bukti implementasi.

Narasi Prioritas: dari Gizi ke Energi

Presiden menegaskan delapan agenda prioritas: ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, pertahanan, percepatan investasi, dan perdagangan global. Di antara item terbesar adalah Program Makan Bergizi (MBG) yang diusulkan Rp335 triliun untuk 82,9 juta penerima—naik tajam dari tahun berjalan—serta dorongan dekarbonisasi kelistrikan dan peningkatan belanja pertahanan. Bagi investor sektor konsumsi dan agribisnis, MBG adalah pendorong permintaan; sementara untuk sektor utilitas dan energi terbarukan, sinyal kebijakan ini membuka jalur proyek—selama desain subsidi dan tarif jelas.

Di sisi capaian awal, pemerintah mengklaim MBG telah menjangkau 20 juta penerima, membentuk 5.800 satuan pelayanan gizi, dan menciptakan sekitar 290 ribu pekerjaan—angka yang menjelaskan mengapa program ini menjadi jangkar sosial-politik sekaligus fiskal. Investor akan menilai keberlanjutan rantai pasok (bahan baku, logistik dingin, dapur komunitas) dan mekanisme pembayaran ke pemasok kecil.

Arsitektur Pembiayaan: Disiplin, Inovatif, dan Kreatif

Defisit 2,48% berada aman di bawah batas acuan 3%—sebuah kompromi antara stimulan dan kewaspadaan. Pemerintah juga memberi sinyal “creative financing”, termasuk mengaktifkan Danantara, sebuah badan pengelola investasi strategi yang dibentuk untuk mengelola aset BUMN besar dan dirancang sebagai mesin konsolidasi serta co-investment. Ini bisa memperlebar ruang fiskal tanpa menambah beban APBN secara langsung—jika tata kelola, transparansi, dan risiko dijaga ketat. Dengan jajaran nama-nama besar elite profesional dalam manajemen Danantara, pasar akan menuntut governance setara Temasek, bukan sekadar “trophy fund”.

Satu catatan taktis: RAPBN 2026 dikabarkan mengakomodasi tarif impor AS 19% atas produk Indonesia—langkah mitigasi shock eksternal yang patut diapresiasi karena memberi kepastian pada eksportir padat karya.

Poin-poin yang Menguatkan Kredibilitas

  • Defisit menurun dengan komitmen menuju anggaran berimbang dalam 3 tahun—membatasi risiko crowding-out di pasar SBN.
  • Asumsi makro moderat (pertumbuhan 5,4%, inflasi 2,5%, SBN 10Y 6,9%, kurs Rp16.500) memberi anchor bagi pricing di obligasi dan FX.
  • Tidak ada pajak baru—mengurangi tail-risk kebijakan yang mengganggu margin korporasi pada 2026.

Risiko Eksekusi yang Harus Dikelola

  • Kenaikan penerimaan ~9,8% tanpa instrumen pajak baru menuntut reformasi basis pajak, digitalisasi, dan penegakan yang konsisten; jika meleset, realokasi belanja atau utang lebih besar bisa menekan pasar.
  • Skala MBG (Rp335 triliun) menuntut governance belanja mikro dalam jutaan titik layanan; kebocoran dan keterlambatan pembayaran bisa berdampak ke inflasi pangan dan turunnya kepercayaan pemasok.
  • Lompatan belanja pertahanan dan ambisi 100% energi terbarukan dalam satu dekade adalah pro-growth tapi sangat menantang dari sisi pembiayaan dan kesiapan proyek; pipeline yang kurang matang akan berujung pada serapan rendah atau cost overrun.
  • Peran Danantara: peluang besar untuk unlock value BUMN, tetapi risiko tata kelola dan transparansi akan menjadi variabel penentu risk premium Indonesia.

Implikasi Portofolio: Siapa yang Diuntungkan?

  • SBN & Rupiah: Angka defisit dan tidak ada pajak baru adalah netral-positif bagi kurva SBN; carry tetap menarik bila inflasi 2,5% terealisasi. FX akan sensitif pada progres reform penerimaan dan neraca perdagangan.
  • Konsumsi staples & Agribisnis: MBG mendongkrak permintaan protein, karbohidrat, dairy, dan cold-chainbeneficial untuk produsen makanan kemasan, peternakan, distributor, dan logistik.
  • Energi & Utilitas: Rambu dekarbonisasi dan alokasi ketahanan energi membuka peluang EPC, OEM, dan pembiayaan proyek—dengan catatan kejelasan tarif/insentif.
  • Industri Pertahanan & Komponen: Modernisasi alutsista berpotensi memicu kemitraan offset/ToT (Transfer of Technology)—tetapi kejelasan pengadaan akan jadi kunci.

Hal yang Perlu Diawasi Investor dalam 3–6 Bulan ke Depan

  1. Detail RUU APBN di DPR—pergeseran pos belanja dan transfer ke daerah.
  2. Rencana aksi reformasi penerimaan (PPh/PPN basis, digital enforcement).
  3. Rulebook Danantara (mandat investasi, ring-fencing, audit).
  4. Desain operasional MBG (SLA pembayaran, standar gizi, transparansi rantai pasok).
  5. Update asumsi makro jika harga minyak ataupun kurs bergeser.
  6. Mitigasi tarif AS pada sektor padat karya ekspor.

Kesimpulan

RAPBN 2026 menandai pergeseran dari retorika ke rancangan kerja: disiplin defisit dipertahankan, pajak baru dihindari, dan prioritas sosial-ekonomi ditajamkan. Namun, kredibilitas fiskal Indonesia pada tahun pertama pemerintahan Prabowo akan ditentukan bukan oleh headline angka, melainkan oleh kualitas eksekusi—di perpajakan, tata kelola belanja, dan governance Danantara. Jika pemerintah mampu menunjukkan “proof of delivery” pada tiga poros itu, risk premium Indonesia bisa turun satu notch; jika tidak, pasar akan cepat menghitung biaya dari ambisi yang melampaui kapasitas.