Jubir: Impor Terbesar Bukan dari Pertimbangan Teknis Kemenperin

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif memastikan impor terbesar bukan dari alokasi pertimbangan teknis (pertek) impor yang diterbitkan Kemenperin.(foto: Kemenperin)
EmitenNews.com - Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief, meluruskan opini yang belakangan disampaikan sejumlah pihak, termasuk Ikatan Alumni Tekstil dan Kahmi Rayon, yang menuding Kemenperin sebagai penyebab PHK massal di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) akibat lemahnya tata niaga impor.
“Pertanyaannya, data apa yang digunakan? Instrumen yang dimiliki Kemenperin hanya sebagian dari rantai ekosistem importasi tekstil. Justru impor terbesar bukan dari alokasi pertimbangan teknis (pertek) impor yang diterbitkan Kemenperin,” tegas Febri.
Ia menjelaskan, gap antara data BPS dan pertek tidak bisa serta merta dikaitkan dengan kebijakan Kemenperin, karena barang impor bisa masuk melalui Kawasan Berikat ke pasar dalam negeri, impor borongan, maupun barang ilegal—semuanya tanpa lartas (larangan terbatas) pertek dari Kemenperin.
“Ini yang perlu dipahami dulu baru bisa memberikan opini sehingga tidak terjadi sesat pikir. Di ruang demokrasi boleh menyampaikan pendapat, tetapi harus dibarengi pemahaman dan data objektif,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Febri mengungkapkan bahwa total kode HS industri TPT dari hulu hingga hilir berjumlah 1.332 pos tarif. Dari jumlah tersebut, yang termasuk kategori Lartas dengan kewajiban PI dan Pertek sesuai Permendag Nomor 17 Tahun 2025 mencapai 941 HS atau 70,65%, sedangkan yang wajib LS tercatat 980 HS atau 73,57%.
Sebelumnya, berdasarkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024, jumlah HS yang diatur perteknya oleh Kemenperin hanya sebanyak 593 HS, atau sekitar 44,51%. Perubahan ini menunjukkan bahwa banjir produk impor TPT terjadi ketika banyak kode HS produk TPT tidak kena lartas, LS atau PI.
Febri menegaskan bahwa sejak 2017 hingga kini, pengaturan impor TPT selalu didasarkan pada aturan resmi. “Sejak 16 Februari 2017 hingga Juli 2022, alokasi impor dilakukan dengan mekanisme data kebutuhan tahunan dari Kemenperin, berdasarkan Rakortas tingkat Menteri di Kemenko Perekonomian,” jelasnya.
Pada Juli 2022, terbit Permenperin 36/2022 yang mengatur penerbitan PI TPT berdasarkan verifikasi kemampuan industri (VKI). Awalnya VKI dilakukan oleh Kemenperin, lalu dilaksanakan oleh lembaga VKI.
Pada tahun 2023, tercatat 493 perusahaan disetujui dengan volume serat 142.644,85 ton dibanding total impor BPS 148.162,60 ton (96,3%). Untuk benang, VKI menyetujui 373.416,42 ton, melebihi data impor BPS 236.145,75 ton (158,1%).
Memasuki tahun 2024, berlaku Permenperin 5/2024 yang mengubah mekanisme penerbitan PI TPT berdasarkan pertek dari Kemenperin dengan masa berlaku per tahun takwim.
“Jumlah perusahaan yang disetujui mencapai 542 perusahaan. Untuk serat, pertek menyetujui 23.851,52 ton atau 19,3% dari total impor BPS 123.693,66 ton. Sedangkan untuk benang, pertek mencapai 147.259,01 ton atau 43,7% dari total impor BPS 336.642,40 ton. Ini menunjukkan adanya perbaikan signifikan dibanding tahun 2023,” urai Febri.
Ia juga mencatat bahwa sejak Agustus 2025, pengaturan impor pakaian jadi baru dilimpahkan perteknya ke Kemenperin. “Ini sangat penting karena artinya seluruh rantai TPT, dari hulu hingga hilir, kini berada dalam koridor pengaturan yang jelas dan sesuai mekanisme peraturan,” tegasnya.(*)
Related News

Kampung Nelayan Merah Putih Diharapkan Jadi Simpul Pertumbuhan Baru

IHSG Ditutup Anjlok 1,06 Persen, MDKA, ANTM, BRPT Drop di LQ45

RI-Kanada Teken Kesepakatan di Bidang Perdagangan dan Pertahanan

Smesco Indonesia Siapkan Platform AI untuk UMKM

Pemerintah Putuskan Tarif Listrik Triwulan IV 2025 Tetap

IHSG Tergelincir 0,62 Persen di Sesi I