EmitenNews.com - Ini jawaban mengapa Weibinanto Halimdjati, atau Lin Che Wei hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, meski dituntut 8 tahun penjara, dalam kasus korupsi terkait ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah. Anggota Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Agus Salim menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang vonis yang dibacakan, Rabu (4/1/2023), dengan terdakwa anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu.


Dalam keterangannya yang dikutip Kamis (5/1/2023), Agus Salim menyebutkan bahwa berdasarkan saksi-saksi yang diperiksa, Lin Che Wei, tidak mengantongi keuntungan pribadi terkait kelangkaan minyak goreng. Fakta hukum persidangan, kata dia, menunjukkan terdakwa Lin Che Wei tidak pernah melakukan pengurusan persetujuan ekspor atau PE.


“Terdakwa tidak pernah memiliki perjanjian kerja sama dengan pelaku pihak usaha mana pun terkait dengan pengurusan atau penerbitan PE. Bahwa terdakwa LCW tak peroleh keuntungan secara pribadi atas peran di dalam menangani masalah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng," ujar hakim Agus Salim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Lin Che Wei juga terbukti tidak pernah menggunakan jabatannya untuk memberikan rekomendasi persetujuan ekspor CPO dan proses turunannya. Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa dalam kaitannya dengan upaya penanganan kelangkaan minyak goreng adalah pasif.


"Pada umumnya berbuat setelah ada permintaan dari Menteri Perdagangan (Muhammad Lutfi). Kalaupun pernah menginisiasi zoom meeting dengan pelaku usaha, hal itu merupakan perintah atau diminta oleh Mendag M Lutfi tentang komitmen dari pelaku usaha. Lagi pula, zoom meeting yang diikuti terdakwa Lin Che Wei itu terbuka dan tidak ada yang ditutupi," ucap Agus Salim lagi.


Masih kata Agus Salim, Lin Che Wei tidak dapat disamakan dengan pejabat negara yang memiliki wewenang terkait izin ekspor CPO karena ia bukan pejabat. Lin Che Wei tidak menerima honor atau insentif dari pemerintah. "Terdakwa bukan pejabat yang memiliki kekuasaan umum dan tidak menerima honor atau insentif dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang meminta jasanya, melainkan dari pihak NGO asing."


Atas dasar itulah semua, hakim Agus Salim menilai Lin Che Wei tidak terbukti dan bukan sebagai pelaku turut serta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat 1 KUHP yaitu orang yang terlibat dalam kerja sama secara sadar dengan pelaku utama tindak pidana.


Meski begitu, majelis hakim akhirnya menghukum Lin Che Wei 1 tahun penjara dalam kasus korupsi ekspor CPO. Pengamat ekonomi itu, juga didenda Rp100 juta. Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat menyatakan, Lin Che Wei terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama, sebagaimana dakwaan subsider yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).


"Terdakwa Lin Che Wei, terdakwa Pierre Togar Sitanggang, dan terdakwa Stanley MA masing-masing (divonis) selama 1 tahun (penjara) dan denda masing-masing Rp100 juta," kata Ketua Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat Liliek Prisbawono saat membacakan putusan, kemarin.


Yang memberatkan, Lin Che Wei dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Untuk pertimbangan yang meringankan, Lin Che Wei belum pernah dihukum, bersikap sopan dalam sidang, dan terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga.


Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni  8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Jaksa menyebutkan bahwa perbuatan korupsi ini dilakukan Lin Che Wei bersama General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA.


Kemudian, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor. Dalam kasus ini, Indra Sari Wisnu dinilai telah melakukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah. Tindakan Wisnu memberikan persetujuan ekspor diduga telah memperkaya orang lain maupun korporasi.


Perbuatan itu menurut jaksa, dilakukan secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya. Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp18,3 triliun. Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian negara sebesar Rp6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp12.312053.298.925.


“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925,” kata jaksa. ***