EmitenNews.com - Anggota DPD RI H. Sudirman Haji Uma menyoroti keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), berkaitan dengan persoalan yang dihadapi Ryan Bin Jipiar (30). Pemuda asal Gampong Kramat Dalam, Kecamatan Kota Sigli, Pidie yang jadi korban penusukan ini, dirujuk ke Rumah Sakit Zainoel Abidin (RSZA) Banda Aceh, mengalami kendala administrasi untuk pelayanan BPJS Kesehatan.

Informasi yang dikumpulkan Jumat (3/5/2024), biaya perawatan medis Ryan tidak dapat ditanggung BPJS Kesehatan. Hal ini sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 52 Ayat 1 poin r tentang Manfaat yang Tidak Dijamin. Dalam ayat tersebut, tertera 21 kondisi yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Keluarga pun menjadi sangat kebingungan karena di tengah kondisi ekonomi keluarga yang tergolong tidak mampu. Mereka tidak mungkin bisa melunasi biaya rumah sakit. Beruntung, kakak korban terhubung dengan Muhammad Daud, Staf Ahli H. Sudirman Haji Uma dan menyampaikan masalahnya. 

Hal itu kemudian ditindaklanjuti Staf Ahli Haji Uma dengan menemui pihak RSZA untuk mendiskusikan dan mencari solusi atas tunggakan biaya perawatan medis yang mencapai Rp48 juta. Akhirnya masalah tersebut terselesaikan dan keluarga hanya diharuskan membayar Rp5 juta. 

Karena keluarga tidak mampu membayar dan sulit mengakses layanan LPSK, biaya perawatan ditanggung pihak RSZA dengan syarat pasien korban menyerahkan surat keterangan tidak mampu. Informasi yang ada, tahun 2023 biaya yang harus ditanggung RSZA mencapai Rp700 juta karena tidak ditanggung BPJS Kesehatan. 

Tentu ini menjadi beban yang tidak diharap, tapi juga tak dapat ditolak, karena sejatinya biaya perawatan medis bagi kasus seperti Ryan ini mestinya jadi tanggungan LPSK dan pemerintah telah menempatkan dana di sana. Sedangkan pemerintah Aceh tidak punya kemampuan anggaran untuk itu karena sudah habis menalangi JKA. 

Pihak RSZA sudah memberi tahu di awal kepada keluarga, jika BPJS tidak bisa menanggung. Untuk hal ini layanannya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan perlu untuk melampirkan beberapa persyaratan. Namun, menurut LPSK, korban harus terlebih dahulu terdaftar. Selain itu, akses ke LPSK tidak seperti BPJS yang memang terintegrasi di rumah sakit sehingga lebih mudah diakses. 

Haji Uma menyoroti kehadiran LPSK di tengah masyarakat belum memiliki informasi optimal dalam kasus semacam ini, karena kasus serta saluran informasi layanan tidak dapat akses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, kasus yang demikian seperti kekerasan seksual dan penganiayaan, serta kasus terkait lainnya yang menjadi wilayah tanggungan LPSK bisa terjadi kapan saja. 

"Kita prihatin atas apa yang terjadi karena kasus serupa bisa terjadi kapan saja dan sesuai aturan itu tidak ditanggung BPJS walaupun tercatat sebagai peserta namun jadi ranahnya LPSK. Masalahnya, masyarakat tidak tahu dan saluran akses terhadap layanannya tidak semudah BPJS,” ujar Haji Uma. 

Karena itu, LPSK harus hadir mewakili negara yang telah menempatkan dana di sana untuk layanan jaminan kesehatan kepada korban secara lebih mudah. Apalagi, telah ada MoU antara BPJS dengan LPSK terkait layanan penanganan dan manfaatnya mesti dirasakan nyata oleh masyarakat. Perlu perhatian semua pihak terkait penguatan kerja sama baik itu pemerintah daerah, BPJS, LPSK dan pihak rumah sakit dalam upaya optimalisasi layanan kepada masyarakat. 

Selanjutnya, belajar dari kasus ini, Haji Uma berharap pemerintah mengevaluasi aturan terkait Jaminan Kesehatan. Hal ini menyangkut sistem formulasi layanan medis korban, apakah sebaiknya menjadi wilayah layanan BPJS Kesehatan, dan terkomplementasi dengan LPSK atau skema terbaik lainnya. Yang penting, masyarakat mendapat hak jaminan kesehatan seperti yang dijamin undang-undang. 

"Belajar dari kasus ini, kita akan memberi laporan dan masukan kepada Komite yang membidangi hal ini, sehingga dapat menjadi pertimbangan terkait aspek Jaminan Kesehatan bagi masyarakat," tutup Haji Uma. ***