Tekanan atas rupiah, pada kuartal ketiga 2022, terasa makin berat. Sejak akhir September nilai tukarnya terhadap sejumlah mata uang berangsur merosot bahkan melawan greenback Amerika sudah melampaui Rp15.000. Tekanan makin berat manakala Federal Reserve Bank (Fed) AS secara agresif menaikkan suku bunga acuan Federal Fund Rate (FFR) untuk menjinakkan inflasi.


Kebijakan Fed itu otomatis menjadi madu bagi para hedge fund managers untuk mengalihkan portofolio investasinya dari negara berkembang (emerging markets) ke surat berharga Amerika atau simpanan dolar dengan imbal hasil lebih menarik. Indikasinya terlihat pada kuartal kedua tahun berjalan, asing tercatat melepas SUN (Surat Utang Negara) RI USD5,2 miliar, lebih tinggi dari kuartal pertama sebelumnya yang USD2,9 miliar.


Pelarian modal (capital outflow) ini menyebabkan kepemilikan asing pada SUN yang semula USD58 miliar (20,9%) pada kuartal pertama turun menjadi USD49,9 miliar (19,1%) di akhir kuartal kedua. Beruntung penurunan kepemilikan asing pada SUN itu sebagian bisa ditutup dengan aliran masuk valuta asing dari penerbitan sejumlah instrumen surat utang pemerintah dan swasta, investasi PMA serta pasar modal. Surat utang yang diterbitkan swasta (net inflow), misalnya, naik dari USD0,3 miliar (kuartal I) jadi USD2,6 milyar (kuartal II).


Pelarian modal dari negara berkembang itu adalah lumrah, namun menjadi pukulan buat pemerintah jika cadangan devisanya terbatas, dan valuta asing di kantung perusahaan yang punya utang valuta asing pas-pasan. Untuk meredamnya bank sentral harus menaikkan suku bunga acuan mereka. Bank Indonesia, misalnya, mulai menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI-7 DRR) dari 3,5% ke 3,75% (23 Agustus) lalu ke 4,25% (22 September 2022). 


Usaha BI mengendalikan kemerosotan rupiah sekaligus mengerem pelarian modal mungkin baru terasa pada kuartal kedua 2023. Di pasar modal, sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya, asing semakin besar melikuidasi investasinya. Porsi investasinya turun dari USD2,1 miliar (kuartal pertama) jadi USD1,8 miliar (kuartal kedua).


Lalu lintas transaksi modal dan keuangan memasuki kuartal IV diperkirakan akan berfluktuasi terutama dari outflow kewajiban pemerintah mencicil utang pokok yang jatuh tempo berikut bunganya. Selain itu, transfer laba perusahaan asing di sini ke induk perusahaan mereka di luar negeri termasuk juga biaya freight dan asuransi pengapalan barang ekspor juga akan menambah outflow.


Beruntung, neraca perdagangan selama satu semester, menyumbang surplus besar dari hasil ekspor, terutama, komoditas kelapa sawit, batu bara, nikel, produk besi dan baja berkat tingginya permintaan dan kenaikan harganya. Berkat surplus ekspor nonmigas yang melampaui impor migas itu, ekspor nonmigas secara berturut (Januari – Agustus) mencatat surplus USD34,92 miliar mendekati surplus USD35,33 miliar sepanjang 2021.


Berkat kinerja ekspor nonmigas itu, surplus transaksi berjalan pada Neraca Pembayaran Internasional (NPI) naik dari USD0,4 miliar (0,1% PDB) ke USD3,9 miliar (1,1% PDB). Surplus yang dipetik sejak kuartal IV tahun lalu ini bisa memberikan keyakinan kepada para investor di pasar modal dan keuangan serta pengusaha; Indonesia akan cukup kuat menghadapi tekanan eksternal (berupa akibat kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral banyak negara) dan dampak inflasi impor akibat kenaikan harga energi.


Di masa lalu, kinerja NPI selalu defisit, terutama, karena neraca perdagangannya defisit sehingga tidak mudah bagi BI dan Kementerian Keuangan mengelola nilai tukar, dan cadangan devisa yang dipakai untuk membiayai impor dan membayar utang luar negeri. Toh, akibat kebijakan bank sentral itu, Kementerian Keuangan juga harus menahan pelarian modal dengan menaikkan imbal hasil surat berharga yang akan diterbitkannya kemudian.


Dengan memberikan imbal hasil lebih menarik, para hedge fund managers diharapkan akan kembali masuk membeli surat berharga atau saham dengan dolar mereka sehingga akan memperkuat cadangan devisa. BI juga bisa menambah daya saing barang ekspor Indonesia dengan kurs rupiah yang makin menarik bagi importir – dengan mengayun rupiah pada nilai Rp15.000 – Rp15.500. Jika belum cukup, suku bunga acuan bisa dinaikkan lagi. *