EmitenNews.com - Hari-hari ini harga gula pasar di pasaran cenderung bergerak naik. Harga gula di tingkat eceran yang sebelumnya berkisar Rp15.000 per kilogram, di sejumlah tempat meroket menjadi Rp17.000 hingga Rp20.000 per kilogram.


Sekretarif Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Dwi Purnomo Putranto, menyebut penyebab meroket harga gula pasir tak lepas dari masalah supply dan demand.


"Suplai cukup berat, karena musim giling belum mulai, sedangkan stok di pabrik gula makin turun. Per maret stok nasional antara 2-3 bulan konsumsi. Meski ada stok di luar, seperti di distributor, pedagang dan lain-lain, kita nggak tahu karena tidak ada datanya jumlahnya berapa besar," katanya dalam wawancara dengan CNN Indonesia.


Purnomo mengingatkan stok di pabrik gula tak lagi dikuasai pabrik gula, hanya 30 persen. Sisanya milik pedagang.


Ia memperkirakan masa giling tebu akan mundur karena banyak tanaman tebu yang harus replanting (ditanam kembali) karena kekeringan. Sementara jika mengharapkan dari impor, saat ini negara-negara pengekspor gula seperti India brasil thailand punya kendala sendiri.


"Kita sulit berharap impor dari negara-negara itu karena kebutuhan dalam negeri mereka sendiri tinggi. Ditambah lagi ada program konversi tebu ke bioetanol, sehingga jumlah yang bisa diimpor makin sedikit," jelasnya. Kalau pun pemerintah melakukan intervensi, misalnya dengan menambah impor, menurut Purnomo perlu waktu tidak sebentar untuk sampai ke pasar.


Dengan gambaran itu ia memperkirakan harga gula pasir yang saat ini sudah naik sampai Rp20.000 masih akan bertahan tinggi meskipun ex raw sugar impor sudah akan diolah.


Ia mengatakan dengan puasa dan Lebaran sudah lewat, mestinya harga gula sudah kembali normal. "Tetapi dengan menurunnya angka stok, apalagi yang terdata hanya stok fisik di gudang pabrik, itu pun bukan dalam kekuasaan pabrik, ini akan menimbulkan psikologis masyarakat, distributor dll bahwa harga gula masih akan tinggi," jelas Purnomo.


Ia menyoroti stok gula yang ada di dalam negeri sekarang tidak dikuasai pemerintah, tapi pedagang. Ditambah lagi BUMN gula tidak ada kewajiban untuk buffering stock, karena tuntutan bisnis pemegang saham harus dipenuhi, kecuali ada penugasan khusus dari Menteri BUMN.


"Kalau di luar negeri keran impor yang pegang pemerintah, meskipun dikuasai perusahaan. Kapan stok harus dilepas, ada di tangan pemerintah," jelasnya.


Selain itu di negara lain stock to consumtion ratio yang menimbulkan ketenangan di pasar ada aturannnya. Di sejumlah negara sampai 40 persen, yang kalau itu diterapkan secara nasional stok cukup untuk kebutuhan 4-5 bulan. "Kita kalau kita punya stok 240 ribu ton, itu hanya cukup untuk 2 bulan," tandas Purnomo.(*)