EmitenNews.com -  Presiden baru Republik Indonesia akan segera terpilih. Terlepas dari segala dinamika yang terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) di tahun ini, masih banyak masalah yang harus diselesaikan oleh Presiden RI periode 2024-2029. 

Salah satunya adalah ketersediaan hunian bagi masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah (MBR). Data Kementerian PUPR pada 2021 lalu menginformasikan bahwa ada 12,71 juta masyarakat yang belum memiliki rumah, dan 84 persen dari jumlah tersebut atau sebanyak 10,74 juta didominasi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). 

Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna mencatat setidaknya ada 740 ribu masyarakat setiap tahun yang diperkirakan tidak memiliki rumah, dan ini merupakan tantangan penyediaan rumah mengingat adanya tambahan keluarga baru setiap tahun. 

Padahal pengembangan sektor perumahan dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan berdampak terhadap 173 sektor turunan. Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Nixon LP Napitupulu mengatakan pihaknya telah menyampaikan fakta tersebut kepada Kementerian Keuangan dan mengatakan bahwa dari 12,7 juta keluarga yang belum memiliki hunian, pihak pengembang hanya mampu membangun 600 ribu sampai 800 ribu rumah setiap tahunnya.

"Segmen perumahan yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah rumah sederhana dan sangat sederhana, bukan rumah mewah yang cenderung melambat," ujar Nixon, Rabu (7/2/2024). Penjualan rumah segmen sederhana dan sangat sederhana diproyeksikan dapat tumbuh mencapai dua digit di tahun ini. 

Sayangnya pembangunan rumah subsidi kurang banyak diminati pengembang besar. Padahal rumah subsidi biasanya merupakan rumah dengan segmen sederhana dan sangat sederhana. Panel Ahli Katadata Insight Center Mulya Amri mengatakan pembangunan rumah subsidi umumnya dilakukan oleh pengembang skala kecil-menengah. 

"Selain itu, terdapat risiko yang harus dihadapi pengembang karena masyarakat berpenghasilan rendah memiliki kemungkinan untuk gagal membayar," ujar Mulya, belum lama ini. Mulya menambahkan, setelah disubsidi oleh pemerintah, minat membangun rumah subsidi masih tetap minim, khususnya dari sisi skema pembiayaan yang didapatkan dari bank besar.

Mulya menyatakan bahwa pengembang rumah subsidi sering mengeluhkan akses permodalan dan regulasi yang ketat, karena alasan ekonomi menjadi faktor utama pengembang besar enggan berpartisipasi. Untuk meningkatkan jumlah rumah subsidi, keterlibatan pemerintah dan perbankan menjadi hal yang penting, termasuk komitmen dalam menyediakan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi.

Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung Agustinus Adib Abadi mengatakan pemerintah juga perlu untuk memberikan peran yang lebih besar kepada otoritas perumahan lokal. Sebab di Indonesia, aktor yang berperan penting dalam penyediaan perumahan adalah otoritas perumahan lokal. 

"Hal ini karena seluruh proses produksi rumah dilakukan pada tingkatan lokal, sehingga keterlibatan pusat dalam eksekusinya sangat terbatas," ujar Agustinus. Oleh karena itu, menurut Agustinus otoritas perumahan lokal harus diberikan wewenang yang lebih luas dalam pengelolaan pertumbuhan perumahan dengan cara menjaga keseimbangan ketersediaan dan permintaan serta monitoring sumber daya. 

Pembiayaan Jangka Panjang

Perbankan juga mengalami kendala dalam mendapatkan pembiayaan jangka panjang dengan suku bunga yang stabil. Nixon mmengatakan kendala yang dialami perbankan untuk menyediakan pembiayaan jangka panjang dibiayai oleh dana kelolaan jangka pendek. Misalkan, KPR 2 tahun subsidi, sedangkan sumber dana pihak ketiga didapatkan dari deposito yang bertenor 1 hingga 3 bulan. 

Menurut Nixon dibutuhkan subsidi dari penyediaan suku bunga panjang sehingga masyarakat bisa menikmati suku bunga KPR yang lebih murah. Oleh karena itu, lanjut Nixon, regulasi sekuritisasi aset menjadi sangat perlu khususnya untuk meningkatkan minat investor dalam berinvestasi di instrumen sekuritisasi. "Sekuritisasi saat ini hanya BTN saja (yang paling banyak menjalankan). Masalahnya, peminat tidak banyak. Padahal ini bagus untuk likuiditas perumahan dan dananya dapat digunakan kembali untuk membangun rumah baru," ujar Nixon. 

Data Bursa Efek Indonesia menunjukan saat ini ada 11 aset sekuritisasi dalam bentuk Efek Beragun Aset dengan nilai total Rp8,09 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya 10 aset EBA pembiayaan perumahan dengan nilai total 6,29 triliun, yang mana 8 aset diantaranya merupakan EBA yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) bersama BTN.

Skema selain EBA yang lebih efisien berpotensi bisa didapatkan dari instrumen Trust. Instrumen ini sudah cukup lazim ditransaksikan di bursa negara lain seperti Singapura atau Hongkong dan dinilai lebih efisien jika dibandingkan dengan EBA. Sayangnya dari sisi regulasi yang berlaku di Indonesia sampai dengan saat ini masih dalam kajian pembentukan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Kendala lainnya adalah minimnya kantor hukum lokal yang paham terkait skema Trust ini.  

Partner Dentons HPRP Erwin Kurnia Winenda mengatakan UU P2SK akan mengatur soal lembaga trust, bukan dalam arti wali amanat yang sudah ada sekarang. Namun, lebih mengadopsi trust pada penerapan yang berlaku secara internasional dengan implementasinya di Indonesia. "Namun, implementasi dari aturan ini masih perlu diperjelas dengan melihat dari berbagai sisi antara lain, perpajakan pada saat penyerahan asset yang dikelola kepada trustee, maupun pengembalian asset yang dikelola kepada beneficiary, hingga dari sisi pasar modal terkait dengan benturan kepentingan atau pihak pengendali," ujar Erwin. 

Tumbuh Dua Digit