Pelonggaran Impor Pangan dari AS Berpotensi Ancam Petani

Ekonom / Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
EmitenNews.com - Dalam negosiasi tarif dengan Amerika Serikat, tim negosiasi yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menawarkan sejumlah opsi dan relaksasi kepada AS. Diantaranya pelonggaran impor pangan atau meningkatkan pembelian produk agrikultur seperti gandum dan kedelai dari AS.
Namun ekonom mengingatkan langkah pemerintah melonggarkan mpor pangan, termasuk serealia dari Amerika Serikat, berisiko memukul sektor pertanian dalam negeri. Karenanya, pemerintah diimbau untuk meninjau kembali kebijakan pelonggaran impor dengan seksama.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pelonggaran impor harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan domestik dan dampaknya terhadap produsen lokal.
"Ketika Indonesia ingin mengimpor lebih banyak serealia, termasuk gandum, ini harus melihat dulu antara kebutuhan di dalam negeri dan juga dengan impor yang diperlukan dari AS," ujar Bhima, Jumat (18/4).
Pada 2024, Indonesia telah mengimpor serealia senilai US$6,8 miliar. Jika kebijakan tersebut diperlonggar tanpa perencanaan matang, Indonesia berisiko dibanjiri produk pangan dari berbagai negara lain seperti Pakistan dan Vietnam, bukan hanya dari Amerika Serikat.
"Situasi ini tentu akan merugikan sekali para petani di sektor pangan. Begitu juga terkait produk hortikultura. Harga jual petani akan jatuh karena pasar dibanjiri buah dan sayur impor dari AS," terang Bhima.
Bhima menekankan pentingnya mitigasi yang dirancang matang serta strategi negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Menurutnya, sektor pertanian terlalu rentan untuk dijadikan alat tukar dalam negosiasi dagang.
"Kalau di sektor pertanian terlalu rentan, apalagi banyak tenaga kerja di sektor pertanian. Imbasnya bisa berdampak pada menurunnya serapan tenaga kerja," tutur Bhima.
Sebagai alternatif, Bhima menyarankan agar Indonesia menawarkan komoditas lain seperti mineral kritis, termasuk nikel, yang juga dibutuhkan AS. "Kalau AS ingin membeli nikel dari Indonesia, harusnya AS didorong juga berinvestasi membuat smelter di Indonesia," imbuh Bhima.
Dengan pendekatan seperti itu, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan jangka panjang berupa diversifikasi ekspor dan perbaikan tata kelola sumber daya alam, tanpa mengorbankan sektor pertanian dan daya beli masyarakat di pedesaan.(*)
Related News

Krakatau Steel (KRAS) Dorong Produksi Baja Tahan Gempa

Lebaran Usai, Masyarakat Buru Emas untuk Investasi

BEI Keluarkan Pengumuman Penting pada Saham Emiten Menara Ini

USTR Dalami Permintaan RI Soal Penyelesaian Hambatan Non-Tarif

Indonesia Siap Seimbangkan Devisit Perdagangan AS

Harga Emas Antam Kembali Merangkak Naik Rp15.000 per Gram