EmitenNews.com - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, SKK Migas, dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) terus mengevaluasi industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).


Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan kebijakan HGBT sebesar USD6 per MMBTU kepada 7 industri yang diberlakukan Pemerintah sejak 2020 merupakan bentuk dukungan pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional, baik dari sisi perpajakan maupun penyerapan tenaga kerja.


"Sesuai dengan Perpres nomor 121 Tahun 2020 pasal 9, Menteri ESDM dimanatkan untuk melakukan evaluasi terhadap penetapan HGBT dan Pengguna Gas Bumi Tertentu yang memperoleh fasilitas HGBT, setiap tahun atau sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri," katanya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (3/4).


Dalam pelaksanaan evaluasi terkait pelaksanaan penetapan Pengguna Gas Bumi Tertentu dan HGBT sesuai kewenangannya dilakukan oleh, Dirjen Ketenagalistrikan, Kepala BPH Migas, Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan. "Masing-masing menyampaikan hasil evaluasi masing-masing kepada Tim Koordinasi yang diketuai Dirjen Migas," jelas Tutuka.


Kementerian Perindustrian dan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan telah melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT terhadap industri Pengguna Gas Bumi Tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT dan bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum.


Kementerian Perindustrian telah menyampaikan data evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT melalui Surat Direktur Jenderal IKFT Nomor B/471/IKFT/IND/VIII/2021 tanggal 16 Agustus 2023, namun belum disertai dengan hasil evaluasi multiplier effect (nilai tambah yang terkuantifikasi) setiap industri Pengguna Gas Bumi Tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT.


"Dirjen Ketenagalistrikan telah menyampaikan evaluasi implementasi HGBT di bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum melalui surat Nomor B-2506/TL.04/DJL.3/2023 tanggal 11 Agustus 2023, namun belum disertai dengan hasil evaluasi atas implikasinya terkait penerimaan perpajakan," jelas Tutuka.


Dalam realisasinya penyerapan oleh Pengguna Gas Bumi Tertentu Bidang Industri Pupuk yang belum maksimal seperti di bidang pupuk.


"Dalam lima tahun terakhir ada kecenderungan penurunan volume realisasi HGBT untuk industri walaupun tidak begitu besar," ungkap Tutuka.


Menurutnya tidak optimalnya serapan volume oleh Pengguna Gas Bumi Tertentu khususnya Bidang Industri Pupuk antara lain disebabkan, pertama karena maintenance dan kendala operasi pabrik. Kedua, karena keterbatasan kemampuan pasokan hulu migas yang dikelola SKK Migas dalam hal ini dan adanya maintenance di sisi Hulu dan ketiga Kepmen 91 yang berlaku.


Namun demikian, Tutuka menjelaskan ke depan industri pupuk akan memerlukan kebutuhan gas yang besar yang tentunya perlu dipersiapkan.

"Melihat proyeksi kebutuhan gas untuk pupuk yang dikeluarkan oleh Group PT Pupuk Indonesia akan terjadi peningkatan kebutuhan PT Pupuk Indonesia dari 820 MMSCFD menjadi sekitar 1.076 MMSCFD per hari pada tahun 2030, hal ini memerlukan kooridnasi dan keseriusan semua pihak agar dapat memastikan tersedianya kebutuhan gas oleh produsen gas nasional," jelasnya.


Pada tahun 2022, subsidi pupuk secara total sebesar Rp 27,55 triliun. Angka ini menurun 16,12% dibandingkan tahun 2019 atau menurun 9,37% dibandingkan tahun 2020. Namun, jika dibandingkan dengan tahun 2021, subsidi pupuk pada tahun 2022 mengalami peningkatan sebesar 2,77%.


"Dari 7 sektor industri Pengguna Gas Bumi Tertentu, bidang industri pupuk merupakan sektor industri yang menggunakan input gas bumi paling besar (58,48%) di dalam biaya produksinya. Kebijakan HGBT terbukti memberikan dampak positif bagi peningkatan produksi, penjualan, pajak dan dalam penyerapan gas," pungkas Tutuka.(*)