Peningkatan Risiko Kenaikan Suku Bunga Membayangi Investor Obligasi Asia Tenggara
EmitenNews.com - Investor obligasi yang terbuai dengan keyakinan bahwa inflasi akan tetap landai di Asia Tenggara mungkin akan segera dikejutkan oleh perubahan yang akan terjadi dalam waktu dekat.
Para trader kini bertaruh bahwa kenaikan inflasi akan menyebabkan kenaikan suku bunga lebih cepat dari perkiraan. Kondisi tersebut bisa menjadi pertanda akan berakhirnya status kawasan sebagai surga mini dari gangguan aksi jual yang telah melanda pasar global, karena mayoritas bank sentral berubah menjadi hawkish .
Jika pembuat kebijakan Asia Tenggara tidak bertindak dengan cermat, maka imbal hasil obligasi riil - yang sudah lebih rendah dari rata-rata historis - akan semakin terkikis.
Menurut Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank Ltd., dengan kondisi harga minyak yang meningkat dan risiko kenaikan harga pangan, inflasi di Asia Tenggara kemungkinan akan meningkat hingga akhir tahun ini. dan menyusul AS. "Spread suku bunga riil yang semakin menyempit terhadap US Treasuries akan memacu arus keluar," ujarnya, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (11/2).
Sinyal tersebut mulai tampak di Thailand. Bank sentral Thailand dianggap sebagai yang paling dovish di Asia Tenggara. Pada Januari lalu, inflasi meningkat menjadi 3,23%, lebih tinggi dari ekspektasi kenaikan sebesar 2,47%. Kondisi itu membuat swap suku bunga non-deliverable dua tahun melonjak sebanyak 19 basis poin sejak rilis data inflasi pada Jumat ini.
Tekanan harga di beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia juga mulai meningkat, yang bergerak di atas 3%. Akibatnya, imbal hasil obligasi yang disesuaikan dengan inflasi turun ke bawah rata-rata historis.
Obligasi acuan Thailand tenor 10-tahun menawarkan imbal hasil riil minus 106 basis poin, atau 1,8 standar deviasi di bawah rata-rata tiga tahun. Imbal hasil yang disesuaikan dengan inflasi surat utang Indonesia dan Malaysia yang setara, juga mendekati satu standar deviasi di bawah rata-rata.
Sementara itu bank-bank sentral di Asia Tenggara cenderung masih menahan diri.
Bank of Thailand mengatakan pada Rabu lalu bahwa mereka perlu mendukung pemulihan ekonomi, menggemakan pernyataan yang sama dengan gubernur Bank Negara Malaysia. Pada Kamis kemarin, Bank Indonesia mengatakan tekanan inflasi diperkirakan akan mulai meningkat pada tahun 2023, dan akan mulai melakukan penilaian menyeluruh pada kuartal ketiga nanti.
Namun demikian, para pembuat kebijakan di Asia Tenggara mempunyai sejarah yang cenderung agresif. Pada tahun 2018 lalu, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin mulai dari Mei hingga November, yang memicu penurunan surat utang negara dalam rupiah sebesar 8% secara tahunan pada tahun itu.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi para investor obligasi Asia Tenggara untuk terus mengawasi tekanan harga yang baru muncul.
Related News
BKPM: Capai Pertumbuhan 8 Persen Butuh Investasi Rp13.528 Triliun
Hati-hati! Dua Saham Ini Dalam Pengawasan BEI
BTN Raih Predikat Tertinggi Green Building
IHSG Naik 0,82 Persen di Sesi I, GOTO, BRIS, UNVR Top Gainers LQ45
Perkuat Industri Tekstil, Wamenkeu Anggito Serap Aspirasi Pengusaha
Transaksi Aset Kripto di Indonesia Hingga Oktober Tembus Rp475 Triliun