Perang Dagang AS-China Guncang Rupiah & Pasar Saham, Kita Harus Apa?

ilustrasi perang dagang AS vs China. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Ketegangan antara Amerika Serikat dan China kembali menguatkan sinyal kekhawatiran di pasar global. Perang dagang yang berlangsung sejak beberapa tahun lalu kini menunjukkan dampak yang semakin nyata, tak hanya di sektor perdagangan, tetapi juga ke pasar finansial dan perekonomian domestik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menembus level Rp17.000 per dolar. Melemahnya kurs rupiah ini disebut oleh para ekonom sebagai "alarm serius" yang menandakan tekanan besar terhadap stabilitas moneter dan fiskal Indonesia.
Sebab, dalam kondisi seperti ini, tekanan terhadap harga barang impor, terutama pangan dan energi, akan meningkat tajam. Dampaknya pun merambat luas. Investor asing mulai menarik dananya dari pasar domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami gejolak dan volatilitas, sementara sektor-sektor berbasis impor dan manufaktur terpukul karena naiknya biaya produksi. Investor yang sebelumnya optimis, kini mulai bersikap hati-hati, mengalihkan investasinya ke instrumen yang dianggap lebih aman seperti obligasi negara dan aset dolar.
Dalam merespons situasi global yang terus berubah, Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan kesiapan Indonesia untuk membuka jalur negosiasi perdagangan langsung dengan Amerika Serikat, sebagaimana dilaporkan Tempo.co. Langkah ini dinilai strategis untuk menjaga akses pasar ekspor nasional dan meminimalkan dampak lanjutan dari kebijakan proteksionisme AS.
Namun, tekanan global ini tak hanya menjadi urusan pelaku pasar dan pemerintah. Di sisi domestik, dampaknya terasa langsung ke keuangan rumah tangga. Ketika rupiah melemah dan inflasi meningkat, masyarakat kelas menengah dan bawah menjadi kelompok yang paling rentan.
Harga-harga kebutuhan pokok bisa naik, dan daya beli semakin tergerus.
Para analis keuangan menyarankan agar masyarakat mulai memperkuat perencanaan keuangan pribadi. Penguatan dana darurat menjadi keharusan, begitu pula dengan pengendalian konsumsi non-esensial. Rumah tangga yang masih bergantung pada satu sumber pendapatan disarankan mulai mencari alternatif pendapatan tambahan, baik melalui pekerjaan sampingan, usaha mikro, atau investasi skala kecil yang aman. Selain itu, masyarakat diimbau untuk lebih selektif dalam mengambil kredit konsumtif, mengingat suku bunga cenderung tinggi dalam kondisi inflasi, yang bisa memperberat beban cicilan.
Bagi investor domestik, situasi ini menuntut strategi yang lebih taktis. Rotasi sektor harus diperhatikan dengan serius. Sektor-sektor seperti energi, infrastruktur, dan telekomunikasi yang lebih tahan terhadap tekanan eksternal bisa menjadi pilihan untuk mengurangi risiko.
Diversifikasi aset ke obligasi negara dan instrumen berbasis dolar juga menjadi cara defensif yang relevan. Selain itu, bagi investor jangka panjang, kondisi seperti ini bisa menjadi momentum akumulasi bertahap pada saham-saham berfundamental kuat yang harganya sedang tertekan.
Situasi global yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa perang dagang AS–China bukan lagi sekadar konflik bilateral. Ia telah menjadi krisis sistemik yang berdampak pada arus modal, harga komoditas, nilai tukar, dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Indonesia, sebagai bagian dari ekonomi global yang terbuka, tidak dapat menghindar dari guncangan ini.
Oleh karena itu, respons yang dibutuhkan harus komprehensif. Pemerintah dituntut untuk mengambil langkah diplomasi ekonomi yang proaktif dan menyusun kebijakan fiskal yang fleksibel. Sementara itu, baik pelaku pasar maupun masyarakat umum harus mampu beradaptasi, bersiap menghadapi ketidakpastian, dan membangun ketahanan keuangan masing-masing.
Jika tidak diantisipasi dengan baik, gejolak global ini tak hanya akan menggoyahkan nilai tukar dan pasar modal, tetapi juga bisa mengancam stabilitas ekonomi rumah tangga dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Related News

Sikap Prabowo ke Saham: Ketegasan Politik atau Ketidaktahuan Ekonomi?

Tarif Impor vs Pertumbuhan Ekonomi : Bagaimana Investor Bisa Bertahan?

Dilema Adaro: Mengapa Batu Bara Masih Mendominasi Dibanding EBT?

Dampak Tarif Impor AS: Ancaman bagi Pasar Global dan Ekonomi Indonesia

Lakukan Hal Ini Ketika IHSG dan Saham-Saham Turun Terus

IHSG Tertekan, Investor Wait and See di Tengah Ketidakpastian Ekonomi