EmitenNews.com - Ada pelanggaran etik hakim konstitusi terkait penanganan perkara batas minimal usia capres-cawapres yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie membeberkan masalah dugaan pelanggaran etik itu, usai MKMK memeriksa lima pelapor dan tiga hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.

 

"Intinya, banyak sekali masalah yang kami temukan. Dari tiga hakim konstitusi yang diperiksa ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali," ujar Jimly Asshiddiqie di Gedung II MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023) malam.

 

Dari sekian masalah itu, menurut Jimly Asshiddiqie, pertama, hubungan kekerabatan antara hakim dengan pihak yang diuntungkan dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Pelapor, kata pakar hukum tata negara itu, meminta hakim yang memiliki hubungan kekerabatan wajib mundur dari perkara yang sedang ditangani.

 

Kedua, soal berbicara, hakim berbicara di depan publik mengenai isu yang sedang ditangani atau mengenai hal-hal yang diduga berkaitan dengan substansi perkara. Padahal, patut diduga ini ada kaitan paling tidak dalam persepsi publik.

 

Ketiga, hakim MK yang mengumbar kemarahan di depan publik atau putusan yang dibuat MK. Padahal, menurut pelapor hal tersebut merupakan masalah internal hakim MK.

 

Keempat, urai Jimly, ada hakim yang menulis dissenting opinion tetapi bukan substansi ide yang dituliskan, melainkan ekspresi kemarahan. 

 

"Ini kan jadi masalah juga," kata anggota DPD RI asal DKI Jakarta itu.

 

Kelima, prosedur registrasi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang loncat-loncat. Pasalnya, perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 sempat mengalami perubahan, kemudian ditarik kembali dan akhirnya dimasukkan lagi ke MK. Hal tersebut, memang teknis, tetapi berkaitan dengan motif, etika, motif kepemimpinan, dan motif good governance. ***