EmitenNews.com - Kapasitas kilang Indonesia berada di titik stagnan, sementara dunia terus menambah fasilitas pengolahan minyak. Hal ini juga sempat menjadi perbincangan media setelah Menteri Keuangan RI terbaru, Purbaya Yudhi Sadewa yang bahkan, menyebut bahwa Pertamina ini malas untuk membangun kilang.

Dalam gelaran diskursus “Kilang Pertamina Untuk Indonesia” yang diagendakan oleh Energy & Mining Editor Society (E2S) menghadirkan PTH Direktur Perencanaan & Pengembangan Bisnis serta Direktur Manajemen Risiko PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Prayitno, bersama Pengamat Energi yang juga menjabat Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro di Hotel Borobudur, Jakarta pada Rabu (19/11).

Prayitno, Bos Kilang Pertamina itu memaparkan bahwa, “Total kapasitas kilang Pertamina saat ini baru mencapai 1.050.000 dan sekarang sedang ditingkatkan menjadi 1.150.000 barrel per hari.” 

Ia juga menguraikan bahwa sebagian fasilitas sudah berusia tua. “Kilang ini kan usianya sudah relatif tidak muda lagi.”

Pengamat Energi, Komaidi menilai kondisi stagnasi kapasitas tersebut berbanding terbalik dengan dinamika global. 

Komaidi menjelaskan, “Kalau kita lihat, dengan adanya transisi energi itu seolah-olah industri kilang ini akan berakhir atau selesai. Tapi kalau lihat fakta dan data, di internasional, itu justru kapasitas kilang nambah.” 

Ia mencontohkan kilang di India yang mencapai 1,24 juta barel per hari dan juga tak lupa pula menyebut taipan Prajogo Pangestu melalui emitennya yang gencar mengakuisisi kilang-kilang baru di luar negeri seperti Singapura.

Di sisi domestik, ketergantungan Indonesia terhadap BBM membuat peran kilang tetap krusial. Komaidi menegaskan bahwa sektor transportasi nasional masih didominasi bahan bakar fosil. 

Ia menyebut, “Sektor transportasi kita 99,86 persen itu masih pakai BBM,” sehingga industri kilang berpengaruh langsung terhadap kestabilan ekonomi dan mobilitas masyarakat.

Regulasi harga BBM yang sepenuhnya mengandalkan subsidi disebut turut membebani arus kas Pertamina. Komaidi menyoroti bahwa harga jual produk seperti Pertalite dan Pertamax masih dibatasi, sehingga tak sebanding dengan biaya produksi. 

Menurutnya, kondisi ini berdampak panjang pada keberlanjutan investasi kilang. “Ini yang menjelaskan kenapa kapasitas kilang kita mungkin dalam 5–10 tahun terakhir bisa dikatakan relatif tidak progresif,” ungkap Komaidi.

Prayitno dalam paparannya berlanjut mengungkapkan fokus pengembangan yang sedang berjalan, termasuk peningkatan kapasitas Kilang Balikpapan dari “260.000 barrel menjadi 360.000 barrel” serta pengembangan petrokimia untuk mendukung hilirisasi. 

Namun, ia mengakui kebutuhan investasi besar pada proyek baru dan peningkatan kompleksitas kilang (NCI) masih menjadi tantangan berat.

Di tengah stagnasi kapasitas nasional, kebutuhan BBM terus meningkat, sementara impor belum sepenuhnya bisa ditekan. Kondisi ini diungkap Komaidi menempatkan ketahanan energi sebagai isu strategis yang perlu disikapi serius, terutama ketika dunia justru memperluas kapasitas kilang di era transisi energi.