EmitenNews.com - Nilai tukar rupiah melemah sebesar 0,7% ke level Rp16.578 per USD pada Jumat (28/2/2025), menyentuh titik terendah sejak April 2020. Pelemahan ini terjadi di tengah kebijakan tarif impor dari Kanada dan Meksiko yang mulai berlaku pekan ini.

Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi pasar. Tujuannya, menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing serta menjaga kepercayaan pasar. 

Dalam keterangannya Kamis (6/3/2025), Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian global yang meningkat.

Arfian Prasetya Aji, Economist KISI Asset Management (AM) menyebut bahwa saat ini, mayoritas mata uang Asia juga menghadapi tekanan akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat serta ketidakpastian terkait arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed). 

Faktor domestik, termasuk kebijakan ekonomi terbaru, turut meningkatkan sentimen negatif di kalangan investor. Itu yang tercermin dari arus keluar modal sebesar Rp10,33 triliun dalam sepekan terakhir. Kendati demikian, per hari ini, rupiah kembali menguat ke kisaran Rp16.444.

Dalam perkembangan sektor energi, beberapa pembeli batu bara asal China menolak implementasi Harga Batubara Acuan (HBA) yang baru. Eksportir batu bara Indonesia pun meminta masa transisi selama enam bulan untuk mengakomodasi perubahan ini, mengingat sosialisasi dan implementasi kebijakan dinilai terlalu cepat.

Penetapan HBA bertujuan untuk memberikan Indonesia kontrol lebih besar atas harga ekspor batu bara serta menjaga stabilitas harga domestik. 

Namun, kebijakan ini berpotensi menghambat permintaan dari China, dengan kemungkinan adanya pembatalan atau renegosiasi kontrak oleh pembeli. Jika hal ini terjadi, dampaknya dapat berujung pada penurunan volume ekspor dan pendapatan dari sektor batu bara Indonesia. 

Bank Indonesia menyetujui dukungannya terhadap program perumahan terjangkau yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan menyediakan likuiditas sebesar Rp130 triliun. BI menegaskan bahwa dukungan ini sejalan dengan kebijakan makroekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta kesejahteraan masyarakat melalui sektor perumahan.

BI juga menegaskan tiga bentuk dukungan terhadap program perumahan: 1. Memastikan program Asta Cita berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. 

Lalu, 2. Menyediakan insentif likuiditas bagi bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas, termasuk perumahan. 3. Mendukung pendanaan program perumahan dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Peningkatan likuiditas di sektor perbankan diharapkan mampu mempercepat penyaluran kredit ke sektor perumahan, yang memiliki efek berantai terhadap berbagai industri seperti semen, baja, bahan bangunan, serta tenaga kerja konstruksi. Namun, kebijakan ini juga memunculkan perdebatan mengenai independensi Bank Indonesia. 

Dalam catatan Arfian Prasetya Aji, beberapa investor menilai bahwa keterlibatan BI yang terlalu dalam dalam kebijakan pemerintah dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai otoritas moneter yang independen. 

Jika kekhawatiran ini berlanjut, maka potensi arus modal keluar bisa meningkat, yang pada akhirnya dapat berdampak pada stabilitas sektor keuangan Indonesia. ***