EmitenNews.com - Investasi berkelanjutan bukan hanya tentang menghindari resiko lingkungan, melainkan membuka semua peluang ekonomi baru. BloombergNEF tahun 2023 juga menyebutkan bahwa transisi energi bersih akan membutuhkan investasi senilai USD3,1 triliun per tahun hingga 2050.


Sektor seperti energi terbarukan (EBT), ekonomi sirkular dan teknologi hijau diprediksi menciptakan 25 juta lapangan kerja baru. "Indonesia memiliki sumber daya EBT yang melimpah, seperti tenaga surya, hidro, panas bumi, dan bioenergi, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung transisi energi bersih," ungkap Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi di acara Kompas100 X BEI Tahun 2025, Senin (17/02).


Keberadaan hutan Indonesia juga menjadi salah satu aset utama dalam perdagangan karbon, dengan skema seperti Skema Karbon Nusantara (SKN) yang memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan.


“Saat ini kita sudah mengambil langkah signifikan untuk mendorong investasi berkelanjutan melalui Perpres Nomor 112 Tahun 2022 yang menargetkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini pun kami melihat negara di sekitar kita semakin ambisius untuk memperbanyak bauran energi bersihnya, sehingga kita juga harus bersiap untuk beradaptasi dengan situasi yang dinamis,” kata Deputi Edi.


Indonesia saat ini memiliki berbagai program/proyek yang berjalan, diantaranya yaitu proyek Carbon Capture and Storage (CCS), Just Energy Transition Partnership (JETP), pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Bahan Bakar Nabati yang meliputi biodiesel dan bioethanol, serta pengembangan ekosistem kendaraan listrik dengan proses dari hulu sampai hilir.


Meskipun Indonesia telah berkomitmen terhadap ekonomi hijau dan berkelanjutan, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Untuk itu, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis diantaranya yaitu penguatan regulasi dan kebijakan dengan mengembangkan kebijakan dan regulasi khusus ekonomi hijau dan investasi hijau dan memastikan sinkronisasi antara seluruh dokumen peraturan, serta melakukan reformasi kelembagaan dengan mendesain ulang kelembagaan agar lebih kuat dan tidak tumpang tindih, dan memperbaiki sistem pendukung pembiayaan hijau.


Selain itu, diperlukan juga untuk mengoptimalisasi perdagangan karbon dengan meningkatkan kapasitas SDM, memperkuat kelembagaan, serta menetapkan harga karbon yang kompetitif sesuai mekanisme pasar. Mendorong investasi EBT juga perlu dengan mengesahkan RUU EBTKE, memperkuat akses pembiayaan melalui perbankan, menetapkan harga EBT yang kompetitif dengan subsidi, dan memperpanjang insentif berbasis evaluasi objektif. Kemudian mendorong keterlibatan swasta dalam investasi hijau, perdagangan karbon, dan energi terbarukan, serta memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral.(*)