Tahun 2026, Akankah jadi Kebangkitan Emiten BUMN?
Ilustrasi industrial futuristik.
EmitenNews.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mencatatkan rekor tertingginya. Pada perdagangan Kamis (4/12/2025), IHSG berhasil mencetak posisi all time high di level 8.640,196. Sementara itu, kapitalisasi pasar alias market cap mencapai Rp15.887 triliun.
Sepanjang tahun 2025 yang masih tersisa beberapa hari lagi, IHSG tercatat sudah berhasil mencetak rekor tertinggi sebanyak 22 kali. Menarik untuk ditunggu, apakah IHSG akan berhasil tembus di angka 9.000 saat akhir tahun, sebagaimana diramalkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Pada sisi lain, capaian rekor IHSG saat ini sebenarnya masih menjadi sorotan dan catatan bagi sebagian besar pelaku pasar. Kenaikan IHSG saat ini masih dominan ditopang oleh euforia kenaikan beberapa saham saja, khususnya saham yang terkait dengan nama besar konglomerat di Indonesia.
Ada kekhawatiran besar bahwa ketika harga saham-saham tersebut sudah naik tinggi, maka tinggal menunggu waktu saja akan segera terjadi penurunan yang tentu berdampak ke IHSG. Rekor kenaikan IHSG juga dinilai tidak sejalan dengan kondisi ketidakpastian bahkan bisa dikatakan pelemahan ekonomi dalam negeri maupun global saat ini.
Meskipun sebagian kalangan tetap percaya kenaikan IHSG sebagai indikasi nyata proyeksi ekonomi Indonesia ke depan bakalan semakin cerah dan optimistis, seperti selalu disampaikan Menkeu Purbaya.
Emiten BUMN
Salah satu kelompok emiten di bursa yang hampir selalu mendapat sorotan adalah emiten BUMN. Tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan BUMN ini merupakan penggerak utama ekonomi nasional.
Sampai saat ini tercatat lebih dari 20 emiten BUMN yang sudah melantai di bursa dan tersebar di beberapa sektor. Mulai dari jasa keuangan, energi, infrakstruktur, basic material, kesehatan hingga transportasi dan logistik.
Bila bicara soal kinerja, barangkali kita akan sepakat bahwa sebenarnya hanya beberapa di antara emiten tersebut yang benar-benar layak diakui kualitas dan kinerja bisnisnya. Sedangkan sebagian lagi justru semakin dipertanyakan masa depannya.
Emiten BUMN yang paling profitable tentu saja yang bergerak di sektor jasa keuangan alias perbankan. Bank-bank plat merah tersebut sudah teruji oleh waktu mampu secara konsisten mencatatkan laba triliunan rupiah setiap tahun. Dampaknya jelas, para pemegang saham (termasuk pemerintah) akhirnya bisa ikut menikmati laba perusahaan melalui dividen yang dibagikan.
Tidak heran, bahkan di saat kinerja perusahaan sedang tertekan dan harga sahamnya masih cenderung turun, banyak investor yang tetap optimistis akan masa depan perusahaan. Penurunan harga saham saat ini justru dianggap kesempatan untuk membeli saham perusahaan di harga murah.
Saat harga saham bank BUMN sedang turun, banyak investor justru melihat sisi positif yang lain; potensi yield dividen otomatis menjadi sangat menarik. Pada posisi harga saat ini, bila mengacu pada besaran nominal dividen tahun sebelumnya, maka potensi yield yang diterima rata-rata bisa di atas 8%.
Sektor berikutnya yang terbukti cukup profitable adalah energi. Pada sektor ini, kita bisa menyebut tiga nama emiten BUMN besar yaitu PT Perusahaan Gas Negara (PGAS), PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Elnusa (ELSA).
Meskipun kinerja perusahaan di sektor ini sangat bergantung pada fluktuasi harga komoditas, tetapi secara historis sudah berhasil membuktikan bahwa perusahaan memang konsisten mampu mencetak laba besar. Lagi-lagi, indikatornya adalah dividen yang rutin dibagikan ke para pemegang saham.
Sementara itu, emiten BUMN yang berada di sektor lain, sebagian besar kelihatannya masih sulit untuk mencatatkan kinerja cemerlang. Alih-alih perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dividen besar, bahkan sepertinya sangat tertekan dan kesulitan untuk sekadar membiayai operasional perusahaan.
Sebut saja PT Garuda Indonesia (GIAA) yang bergerak di sektor transportasi dan logistik. Dalam setahun ini saja, BUMN flight carrier itu, sudah menyedot dana puluhan triliun rupiah dari Danantara agar operasional perusahaan terus berjalan.
Sejalan dengan itu, PT Krakatau Steel (KRAS) dan PT Timah (TINS) seakan tidak mau ketinggalan. Dua perusahaan plat merah yang sebenarnya punya nama besar tersebut baru-baru ini juga ikut mengajukan proposal bantuan modal dari negara.
Related News
Mengapa 2026 Akan Jadi Tahun Kembalinya Foreign Inflow ke IHSG?
Mengapa ARA Beruntun 'Doyan Disuspensi Bursa' Ketimbang ARB?
Kunci Sukses Redenominasi Rupiah
IHSG ATH di Tengah Ketidakpastian Global: Anomali atau Momentum?
Mitigasi Risiko Penempatan Dana Rp200 T + Rp76 T, Bakal Bagaimana?
Surat untuk Regulator: Lindungi Investor Ritel, Jangan Cuma Institusi





