Tokoh Lintas Agama Berkumpul; Soroti Bencana Ekologi
Para tokoh lintas agama menunjukkan tingginya perhatian publik terhadap isu lingkungan.(Foto: Kemenag)
EmitenNews.com - Lebih dari 350 peserta mulai dari pejabat Kemenag, tokoh lintas agama, akademisi, hingga komunitas keagamaan, Sabtu (6/12) hadir dalam Dialog Kerukunan Lintas Agama yang diselenggarakan Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Muslim World League (MWL) di Jakarta. Tahun ini, dialog menempatkan isu ekoteologi sebagai fokus utama, yaitu gagasan bahwa tanggung jawab keagamaan mencakup relasi manusia dengan alam.
Para tokoh lintas agama menunjukkan tingginya perhatian publik terhadap isu lingkungan. Terlebih setelah bencana besar melanda Sumatra hingga menjadi sorotan dan mengingatkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
Tampak hadir Mantan Menteri Agama sekaligus penggagas moderasi beragama, Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Umum PERMABUDHI, Philip Kuntojo Widjaja, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, Christophorus Tri Harsono, Ketua Umum PGI Jacklevyn Frits Manupatty. Kemudian Budi Santoso Tanuwiibowo (Ketua Umum Dewan Rohaniwan / Pengurus Pusat MATAKIN); I Ketut Budiasa (Sekretaris Umum PHDI), serta KH Marsudi Syuhud (Wakil Ketua Umum MUI). Hadir pula Anggota Tim Penasihat Menteri Agama sekaligus akademisi Amany Lubis.
Masing-masing tokoh memaparkan ajaran ekologis dari tradisi agama mereka—mulai dari Islam yang menekankan amanah menjaga bumi, Kristen dengan konsep stewardship, Hindu dengan Tri Hita Karana, Buddha dengan welas asih untuk semua makhluk, Khonghucu dengan nilai harmoni, hingga kearifan lokal Nusantara melalui prinsip memayu hayuning bawana.
Dialog ini menghasilkan kesepahaman bahwa kerukunan umat beragama harus diperluas menjadi kerukunan ekologis, yaitu keselarasan manusia dengan sesama dan dengan alam.
Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam sambutannya menegaskan bahwa nilai keimanan tidak dapat dipisahkan dari sikap manusia terhadap lingkungan. Ia menyebut bahwa perilaku merusak alam—seperti pembakaran hutan atau pembuangan sampah sembarangan—bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengingkaran terhadap amanah moral sebagai penjaga bumi.
“Tidak mungkin seseorang mengaku beriman secara utuh jika masih merusak lingkungan,” ujar Menag Nasaruddin Umar.
Ia menambahkan bahwa ekoteologi telah ia gagas, dan kini relevansinya semakin kuat seiring meningkatnya krisis ekologis.
Menurutnya, kerukunan umat beragama tidak dapat berdiri di atas fondasi lingkungan yang rusak. Ketika alam terganggu, stabilitas sosial, kenyamanan beribadah, dan kesejahteraan masyarakat ikut terdampak.
Muslim World League, Mohammed bin Abdulkarim Al-Issa, menyambut gagasan ekoteologi Indonesia dengan antusias. Ia menilai forum internasional yang mengangkat tema agama dan ekologi masih sangat jarang, padahal kerusakan lingkungan merupakan ancaman yang dirasakan semua komunitas iman.
“Ketika banjir atau kerusakan ekosistem terjadi, tidak ada satu pun kelompok agama yang terbebas dari dampaknya,” ujarnya. Ia memuji ekoteologi sebagai terobosan penting dalam percakapan global tentang keberlanjutan.
Melalui konsep ecoteologi, Indonesia menawarkan model kerukunan baru yang menggabungkan spiritualitas, etika publik, dan pemeliharaan lingkungan.
Kerja sama antara PKUB Kementerian Agama dan Muslim World League menjadi langkah strategis dalam membawa gagasan ini ke level global serta memperkuat posisi Indonesia sebagai pelopor dialog dan kerukunan dunia.
(*)
Related News
Listrik Sumatera Barat Pulih 100 Persen
Peduli Sosial, Indofood UI Ultra 2025 Meriah
Kemitraan Teknologi Logam RI–Italia Kian Strategis
Korban Meninggal Banjir dan Longsor Sumatra Tembus 914 Jiwa
DPR Ingatkan Himbara: Sistem Perbankan Wajib Siaga Penuh Jelang Nataru
Soal Banjir Bandang di Tapanuli Selatan, Ini Kata Bahlil dan Agincourt





