EmitenNews.com -Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah sepakat untuk menunda implementasi short selling serta mengkaji kebijakan buyback saham tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap kondisi pasar saham domestik yang mengalami tekanan jual signifikan, terutama dari investor asing. Seperti diketahui, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan sebesar 11,43 persen, dengan arus modal asing menunjukkan tren keluar atau net sell sebesar Rp 18,19 triliun sepanjang Februari 2025, dan akumulasi mencapai Rp 21,9 triliun sejak awal tahun. 

Short selling sendiri merupakan praktik perdagangan saham dengan cara menjual saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi, lalu membeli kembali saham tersebut dengan harga yang lebih rendah, sehingga memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dan beli. Sebelumnya, BEI telah merencanakan penerapan short selling dalam dua tahap. Tahap pertama seharusnya dimulai pada akhir Maret 2025, di mana investor domestik diperbolehkan melakukan transaksi short selling. Satu tahun kemudian, tahap kedua akan memperluas akses bagi investor asing. Namun, dengan mempertimbangkan kondisi pasar yang masih berfluktuasi dan tekanan jual yang tinggi, OJK dan BEI akhirnya memutuskan untuk menunda kebijakan ini. 

Penundaan implementasi short selling ditenggarai dapat memberikan dampak positif bagi pasar modal di Indonesia, diantaranya adalah mengurangi tekanan jual. Dengan tidak adanya short selling, tekanan jual dari spekulan berkurang, sehingga volatilitas pasar menjadi lebih terkendali. Selain itu penundaan short selling juga dapat meningkatkan kepercayaan investor, dimana langkah ini membantu menciptakan sentimen positif di kalangan investor, terutama investor ritel yang khawatir akan dampak negatif dari spekulasi short selling. Dan pada akhirnya penundaan ini akan menjaga stabilitas IHSG dan memberikan waktu bagi pasar modal untuk pulih secara bertahap.

Selain menunda short selling, OJK dan BEI juga tengah mengkaji kebijakan buyback saham tanpa persetujuan RUPS. Buyback saham merupakan langkah perusahaan dalam membeli sahamnya yang telah beredar di pasar, yang tujuannya agar terjadi kestabilan harga saham serta dapat meningkatkan kepercayaan investor.

Tentunya buyback tanpa RUPS memberikan fleksibiltas lebih tinggi bagi emiten dalam menjaga harga sahamnya. Dengan aturan saat ini, perusahaan harus mendapatkan persetujuan pemegang saham dalam RUPS sebelum melakukan buyback. Aturan ini sering kali memakan waktu yang panjang. Jika kebijakan buyback tanpa RUPS ini dipraktikkan, emiten dapat bertindak lebih cepat untuk menstabilkan harga saham mereka tanpa perlu menunggu proses administratif yang lama.

Jika buyback saham tanpa RUPS diizinkan, langkah ini dapat meningkatkan stabilitas pasar saham Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan adanya buyback, saham yang beredar di pasar akan berkurang, sehingga tekanan jual bisa lebih terkendali. Buyback juga cenderung dilihat investor sebagai tanda bahwa perusahaan yakin terhadap fundamental dan prospek bisnisnya sehingga perusahaan kembali membeli saham yang beredar di pasaran. Jika banyak emiten melakukan buyback, hal ini akan bisa membantu pemulihan IHSG yang saat ini mengalami pelemahan signifikan. Tentunya buyback saham yang dilakukan dengan strategi yang tepat dapat menjaga keseimbangan likuiditas di bursa.

Meskipun kebijakan ini dapat memberikan sentimen positif bagi IHSG, terdapat beberapa faktor yang masih perlu diperhatikan. Buyback saham hanya berpengaruh dalam jangka pendek untuk menjaga harga saham. Tentunya untuk pemulihan pasar yang lebih berkelanjutan, faktor fundamental ekonomi harus diperbaiki. Mekanisme pengawasan juga perlu diperhatikan agar buyback tidak dimanfaatkan secara tidak etis oleh emiten tertentu, serta dampaknya terhadap struktur kepemilikan saham di pasar modal. Peran pemerintah dalam meningkatkan daya beli juga perlu menjadi perhatian. Dimana salah satu tantangan utama pemulihan pasar saham adalah daya beli masyarakat. Jika daya beli meningkat, kinerja emiten juga akan membaik, yang pada akhirnya mendukung pertumbuhan IHSG. Selanjutnya adalah buyback saham harus dilakukan dengan transparansi dan tata kelola perusahaan yang baik agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Penundaan short selling dan rencana buyback saham tanpa RUPS diyakini dapat membantu stabilisasi pasar modal, namun ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan, seperti stabilitas ekonomi global dan domestik yang ikut andil besar dalam menentukan arah pasar modal. Inflasi, suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi harus dikelola dengan baik oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Selain itu, perlunya dukungan terhadap investor ritel. Edukasi dan perlindungan bagi investor ritel perlu diperkuat agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh spekulasi yang berlebihan. Dan yang tidak kalah penting adalah regulasi yang mendukung stabilitas pasar harus tetap mempertimbangkan aspek transparansi dan perlindungan investor.

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek di atas, langkah OJK dan BEI dalam menunda short selling dan mengkaji kebijakan buyback saham tanpa RUPS merupakan upaya strategis untuk menjaga stabilitas pasar modal Indonesia. Ke depan, kolaborasi antara regulator, emiten, dan investor menjadi kunci utama dalam menciptakan ekosistem pasar modal yang sehat dan berkelanjutan.