EmitenNews.com - Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum. Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said sependapat dengan pandangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian itu. Para pembuat hukum bisa merekayasa produk hukum. Para penegak hukum dan pengacara juga bisa bermain-main dengan aspek legal formal untuk melakukan tindak korupsi. Korupsi semacam penyakit penyimpangan perilaku. Untuk itu, perlu keteladanan pemimpin.


"Saya sangat sepakat dengan pandangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyebut Korupsi bukan hanya soal pelanggaran hukum," ujar Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (28/1/2022).


Alasan memperkaya diri, bagi Sudirman Said, juga kurang pas. Sebab, banyak pelaku korupsi yang sudah kaya raya. "Apakah budaya? Yang lebih tepat mungkin penyakit, sejenis penyimpangan perilaku. Tidak enak kalau tidak mencuri atau korupsi."


Sudirman Said menilai, yang lebih tepat korupsi itu, mungkin penyakit. Sejenis penyimpangan perilaku. Tidak enak kalau tidak mencuri atau korupsi. Nah, karena menyangkut soal perilaku, Sudirman Said berpandangan, untuk membereskan korupsi tak cukup dengan penegakan hukum dan sistem. Hukum dan sistem, kata mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini, bisa dijebol, oleh perilaku buruk.


“Sebaliknya ketidaksempurnaan hukum dan sistem bisa dijaga oleh perilaku baik.  Keteladanan para pemimpin puncak di setiap instansi jauh lebih efektif daripada soal hukum atau sistem," ucap Sudirman.


Sejarah penanggulangan korupsi memberi pelajaran pada kita, bahwa peran kepemimpinan sangat menentukan. Instansi yang pemimpinnya tidak mentolerir tindak korupsi, mudah sekali menjadikannya sebagai instansi bersih, meskipun aturan di sana sini ada yang kurang sempurna.


Sebaliknya, pada institusi yang pemimpinnya kendor, terlalu kompromistis pada perilaku korupsi, praktik manipulasi, nepotisme dan kolusi ditemukan di mana-mana, meskipun aturan formalnya sangat canggih.


Bahkan dalam iklim yang pemimpinnya memberi angin pada praktik korupsi, sistem digital yang katanya mampu mengontrol pun, dapat dimanipulasi. Dengan semangat itu, Sudirman Said mengatakan, Indonesia membutuhkan banyak pemimpin yang memiliki komitmen kuat pada praktik pemerintahan bersih. Itu yang menurut Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia ini, akan menjadi jawaban.


Sudirman juga mengapresiasi ditekennya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura. Ia menilai, hal itu merupakan salah satu upaya untuk mempersempit ruang gerak koruptor. Di tengah suasana skeptis atas kesungguhan pemerintah menanggulangi korupsi, kata dia, kabar ini tentu memberi harapan. "Kita berharap tindakan nyata di lapangan, komitmen para penegak hukum semakin nyata dan tidak lagi berlindung dari ketiadaan instrumen hukum untuk mengejar pelaku korupsi ke negeri jiran ini."


Penandatanganan perjanjian ekstradisi ini juga menyebut, meskipun banyak pakar yang mengatakan bahwa substansinya tidak ada yang baru, tetapi secara simbolik dapat menjadi pesan adanya niat untuk terus maju dalam memberantas korupsi.   


Sebetulnya, selama ini banyak penangkapan buron di negara-negara yang kita tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Karena itu, kunci pemberantasan tindak pidana korupsi adalah niat, kemauan, dan inisiatif penegak hukum. Namun demikian, tetap ada manfaatnya bila formalitas dan perangkat hukumnya kuat. Dengan demikian penegak hukum tidak bisa menghindar dari tuntutan publik.


Sebagai negara maju, menurut Sudirman Said, Singapura tidak ingin disorot sebagai tempat berlindungnya para koruptor atau tempat menyembunyikan harta hasil korupsi. "Kita berbaik sangka, kemajuan dalam soal perjanjian ekstradisi ini merupakan statement dari negara sahabat yang memandang Indonesia sebagai negara yang makin penting bagi hubungan keduanya."


Dalam rilis virtual bertajuk Urgensi Reformasi Birokrasi, Persepsi Korupsi, Demokrasi, dan Intoleransi di kalangan ASN, Minggu (18/4/2021), Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut ada lima tempat atau bagian di instansi pemerintah yang paling koruptif. Yakni, pengadaan barang, perizinan usaha, keuangan, pelayanan, serta bagian personalia.


Responden survei ini sebanyak 1.201 PNS. Mereka diwawancarai dalam periode 3 Januari-31 Maret 2021. Populasi PNS yang disurvei mencakup PNS di 14 provinsi dan menggunakan metode multistage random sampling melalui wawancara tatap muka.


Hasil survei itu menunjukkan, bagian pengadaan dinilai paling rawan terjadi kegiatan koruptif, yakni 47,2 persen, disusul perizinan usaha 16 persen, keuangan 10,4 persen, pelayanan 9,3 persen, dan lainnya 1 persen.


Bentuk penyalahgunaan korupsi yang paling banyak terjadi pada unsur PNS atau ASN ialah menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi sebesar 26,2 persen, dan kerugian keuangan negara sebanyak 22,8 persen.


Berikutnya, gratifikasi sebanyak 19,9 persen, menerima pemberian tidak resmi atau suap sebanyak 14,8 persen, penggelapan dalam jabatan hingga 4,9 persen, perbuatan curang 1,7 persen, dan adanya pemerasan 0,2 persen. ***