EmitenNews.com - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut kondisi industri pertekstilan di dalam negeri saat ini sangat memprihatinkan dan tercatat terburuk dalam 9 tahun terakhir. Untuk menangani permasalahan ini API menilai perlu arah yang jelas dari pemerintah.


Kompartemen Sumber Daya Manusia API, Harrison Silaen, menilai sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap industri pertekstilan masih belum maksimal. Jika jika industri tekstil masih dianggap penting, maka harus ada upaya dari pemerintah untuk menjaganya.


“Mari kita semua, termasuk lembaga bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing,” ujarnya, Selasa (25/6/2024).


Harrison mengatakan, sampai saat ini ada aturan dari masing-masing konsumen sehingga kondisi tersebut mempersulit berkembangnya industri tekstil. Selain itu, API juga berjuang untuk berkomunikasi dengan pihak lain dan memperbaiki kinerja di sektor industri.


“Jadi aturan dunia masuk semua, ini akan sulit untuk kami menjalankan atau bersaing dengan luar negeri,” bebernya.


Direktur Eksekutif API, Danang Girindrawardana meminta pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2024 yang mengatur kebijakan impor. Pihaknya menilai regulasi ini membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terancam oleh gempuran produk impor.


Karena itu, pada Selasa (25/6), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar Rapat Terbatas (Ratas) untuk membahas hal tersebut.


Hasilnya, pemerintah memastikan segera menerbitkan aturan baru terkait Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) kain.


"Intinya, saya apresiasi Bapak Presiden telah membahas berbagai kendala yang dihadapi industri TPT. Harapan kita akan segera ada perubahan regulasi untuk memperkuat industri TPT dalam negeri," kata Danang.


Diketahui, saat ini rata-rata pelaku usaha tekstil tengah dalam kondisi sulit. Bahkan jika melihat dari kondisi selama sembilan tahun terakhir, lanjut Harrison, kondisi di 2023-2024 ini merupakan kondisi yang paling buruk untuk sektor tekstil dalam negeri.


“Banyak faktor yang mempengaruhi, baik faktor pasar, teknologi, regulasi, dan lainnya,” imbuhnya.


Ditambahkan Wakil Ketua API Jawa Tengah Liliek Setiawan, kondisi geopolitik terutama krisis di Eropa yang dipicu oleh perang Ukraina dan Rusia menjadi salah satu penyebab lesunya pasar di kawasan tersebut.


“Ini jadi gejolak dalam ekonomi, gejolak yang negatif. Ini diperparah dengan lesunya market akibat pergeseran prioritas untuk spending money (membelanjakan uang),” katanya.


Tidak hanya itu, menurut Liliek, industri tekstil salam negeri tengah menghadapi predatory pricing atau strategi ilegal menjual barang di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan bertujuan untuk monopoli.


“Jadi tantangan tidak hanya datang dari faktor eksternal, namun juga dari dalam negeri, termasuk masalah regulasi. Kondisi saat ini disebut sebagai kondisi terburuk sejak sembilan tahun terakhir untuk dunia tekstil. Jadi bukan hanya industri besar tetapi juga UMKM. Kalau UMKM berdampak artinya dampaknya sudah masif. Apalagi pelaku ekonomi kita 95 persen di UMKM. Dan butuh konsistensi terutama dalam hal regulasi untuk mengatasi itu,” ungkapnya.(*)