Business Judgement Rule Jadi Tameng: Benarkah Direksi BUMN Aman?
Suasana sidang kasus ASDP. Sumber: jurnalborneo.com
EmitenNews.com - Belakangan ini, dukungan publik terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry mengalir begitu deras . Di berbagai kanal—mulai dari media sosial, ruang diskusi, hingga forum akademik—muncul narasi kuat bahwa kasus yang menimpa manajemen ASDP sejatinya hanyalah sebuah risiko bisnis.
Argumen yang kerap didengungkan adalah Business Judgement Rule (BJR). Semakin sering narasi ini diulang, semakin terbangun opini bahwa perkara ini hanyalah "salah paham" penegak hukum dalam melihat aksi korporasi.
Namun, sebagai pelaku pasar dan pemerhati hukum, kita perlu bertanya secara jernih: Benarkah BJR adalah tameng otomatis bagi direksi BUMN? Di sinilah letak krusialnya. BJR tidak bisa dan tidak boleh menabrak aturan konstitusi mengenai kerugian negara . Banyak pihak terpeleset pada titik fundamental ini.
Hanya BPK, Bukan Asumsi Penyidik
Satu hal vital yang sering luput dalam diskursus publik adalah definisi dan penetapan "kerugian negara". Kerugian negara bukanlah angka yang boleh ditetapkan sembarangan oleh penyidik, politisi, apalagi sekadar analis keuangan.
Secara konstitusional, kerugian negara hanya sah (legitimate) jika dihitung melalui audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Ini adalah mandat mutlak UUD 1945 . Landasan hukumnya sangat kokoh, mulai dari Pasal 23E–G UUD 1945, UU No. 15/2004, UU No. 15/2006 tentang BPK, hingga Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan bahwa kerugian negara dalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus bersifat "nyata dan pasti" (actual loss), bukan sekadar potensi atau perkiraan . Oleh karena itu, ketika penyidik—dalam hal ini KPK—mencoba menghitung sendiri dugaan kerugian negara dalam kasus ASDP tanpa basis audit BPK, proses hukum tersebut memasuki wilayah rawan yang berpotensi melanggar asas due process of law.
BJR: Antara Korporasi Swasta dan BUMN & Kerancuan Prosedur
Kita harus mengakui bahwa Business Judgement Rule (BJR) adalah prinsip fundamental dalam tata kelola perusahaan yang sehat. Ia hadir untuk melindungi direksi yang mengambil keputusan bisnis dengan itikad baik, tanpa konflik kepentingan, dan profesional . Dalam korporasi swasta murni, prinsip ini berlaku mutlak sebagaimana diatur UU Perseroan Terbatas (UUPT).
Namun, BUMN adalah entitas yang unik . Ekuitas BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya, setiap kerugian di BUMN berpotensi menjadi kerugian negara. Di sinilah letak kuncinya: kerugian tersebut harus diuji validitasnya oleh BPK RI, bukan oleh persepsi publik atau hitungan penyidik semata.
Dengan kata lain, doktrin BJR baru bisa diuji efektivitasnya setelah ada kepastian hukum: apakah kerugian yang timbul benar-benar dikategorikan sebagai kerugian negara oleh auditor negara? . Mengagungkan BJR tanpa menghormati mekanisme perhitungan kerugian negara sama saja membela tata kelola perusahaan sambil menginjak hukum negara.
Kasus ASDP ini menjadi semakin ruwet karena kekacauan dalam memahami batas kewenangan antara penyidik hukum dan auditor negara.
Prinsipnya jelas: Penyidik tidak boleh merangkap sebagai auditor. Jika angka kerugian negara ditetapkan di luar kewenangan BPK, maka seluruh konstruksi hukum perkara ini menjadi rapuh . Dalam negara hukum, prosedur yang keliru sama berbahayanya dengan kesimpulan yang sesat.
Taruhan Ekonomi dan Kepastian Hukum
Kita tidak sedang mendiskusikan kasus ini di ruang hampa. Indonesia tengah menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan: pertumbuhan yang tertahan di level 5 persen, shortfall penerimaan pajak, tax ratio di bawah 10 persen, hingga beban utang negara yang menembus Rp9.138 triliun.
Di tengah situasi ekonomi yang rapuh, pasar membutuhkan kepastian hukum. Kita membutuhkan penegakan hukum Tipikor yang presisi, bukan yang terburu-buru atau "grasa-grusu" . Ketika prosedur hukum dipotong (bypass), lembaga melampaui kewenangannya, dan publik menghakimi sebelum audit tuntas, kita sedang menggerus fondasi investasi yang paling penting: kepastian hukum.
Untuk itu, kasus ASDP harus dikembalikan pada kacamata yang benar dan proporsional.
Related News
"Investor-Pengemis" 1 Lot Saham IPO
Fenomena Saham Gorengan Masih Terjadi, Lantas Bagaimana Menyikapinya?
Bisakah Menilai Perusahaan Teknologi dan Startup dengan Cara Biasa?
Mengapa 2026 Akan Jadi Tahun Kembalinya Foreign Inflow ke IHSG?
Tahun 2026, Akankah jadi Kebangkitan Emiten BUMN?
Mengapa ARA Beruntun 'Doyan Disuspensi Bursa' Ketimbang ARB?





