Dalam Kasus Gagal Ginjal Akut, Ombudsman Nilai Menkes dan BPOM Lakukan Maladministrasi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dok Setpres RI.
EmitenNews.com - Telah terjadi maladministrasi dalam kasus gagal ginjal akut, yang menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa anak-anak. Ombudsman Republik Indonesia telah melakukan serangkaian pemeriksaan dalam Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS). Pemeriksaan terkait dugaan maladministrasi pada penanggulangan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak dan pengawasan obat sirop oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, sebagai hasil dari investigasi tersebut, pihaknya telah menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP). Laporan disampaikan secara langsung kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPOM untuk melaksanakan tindakan korektif.
"Objek pemeriksaan di antaranya Ombudsman melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan dengan substansi permasalahan," kata Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis, 15 Desember 2022.
Ombudsman juga melakukan investigasi dan permintaan keterangan di 13 Provinsi, selain memeriksa dokumen-dokumen administrasi berkaitan dengan substansi permasalahan.
Robert memaparkan beberapa poin pendapat Ombudsman yakni dalam penanggulangan kasus GGAPA pada anak dan pengawasan obat sirop, telah terjadi dugaan penyimpangan prosedur dan tindakan tidak kompeten yang dilakukan baik oleh Menteri Kesehatan, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya Menkes terimplikasi dari belum ditetapkannya GGAPA pada anak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sehingga berdampak pada pasifnya respons pemerintah dalam menindaklanjuti kasus ini sebagaimana standar kebijakan dan standar pelayanan dalam penanganan KLB," ujarnya.
Kedua, Ombudsman berpendapat bahwa terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya Menkes dalam pengendalian penyakit tidak menular dengan pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit (pendataan dan pencatatan) dan surveilan kematian mengenai GGAPA pada anak.
Selain itu, terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya Kemenkes dalam melakukan pengawasan kesehatan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai Permenkes Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengawasan di Bidang Kesehatan, agar dapat dilakukan mitigasi awal mengenai GGAPA pada anak.
"Ombudsman RI berpendapat bahwa terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya BPOM dalam memastikan Farmakovigilans. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat," jelasnya.
Robert juga menyoroti terjadinya kelalaian dan pengabaian kewajiban hukum oleh BPOM dalam merespons secara cepat peringatan WHO terkait bahaya cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang terkandung pada obat sirop. Akibatnya, bertambah korban jiwa yang disebabkan GGAPA pada anak. Kemudian, temuan Ombudsman terkait Kemenkes, di antaranya Kemenkes tidak melakukan pendataan dan surveilan sejak awal munculnya gejala GGAPA.
"Kemenkes tidak menindaklanjuti kasus GGAPA pada anak sebagai KLB. Sehingga berdampak pada pasifnya respons pemerintah dalam menindaklanjuti kasus tersebut sebagaimana standar kebijakan dan standar pelayanan dalam penanganan KLB," ungkapnya.
Ketiga, Kemenkes tidak kompeten dalam mensosialisasikan dan menegakkan peraturan secara luas terhadap fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tentang tata laksana dan manajemen klinis GGAPA pada anak akibat EG dan DEG. Keempat, Kemenkes tidak menyampaikan informasi secara luas mengenai kesimpulan penyebab GGAPA pada anak yang terkonfirmasi dari akibat konsumsi obat sirop mengandung EG dan DEG melanggar aturan ambang batas.
Robert menjelaskan, proses peredaran obat sirop mengandung EG dan DEG yang melanggar aturan ambang batas tidak terawasi oleh BPOM. "Sehingga obat tersebut terdistribusi dan dikonsumsi oleh masyarakat yang menjadi penyebab GGAPA pada anak."
Ombudsman menemukan, BPOM tidak optimal dalam mengawasi kegiatan Farmakovigilans dan kepatuhan industri farmasi terhadap aturan Farmakovigilans yang baik. Untuk itu, Ombudsman memberikan Tindakan Korektif kepada Menkes dan Kepala BPOM terkait permasalahan GGAPA pada anak.
Pertama, Menkes diminta melaksanakan peningkatan kapasitas tim surveilans data melalui penyediaan struktur kerja, kualitas dan kuantitas SDM surveilans serta standar kerja untuk mendukung tersedianya data yang akurat dan komprehensif.
"Kedua, melakukan penyempurnaan peraturan terkait KLB khususnya terkait cakupan penyakit menular dan tidak menular. Ketiga, agar Menkes menetapkan klasifikasi KLB dengan status dan mekanisme penanganannya untuk meningkatkan kapasitas respons dalam melakukan tindak lanjut dan penanganannya," jelasnya.
Selain itu, Ombudsman meminta Menkes melaksanakan sosialisasi secara masif dan terukur kepada seluruh Faskes dan Nakes tentang tata laksana dan manajemen klinis penanganan GGAPA.
Related News
Dari CEO Forum Inggris, Presiden Raih Komitmen Investasi USD8,5 Miliar
Menteri LH Ungkap Indonesia Mulai Perdagangan Karbon Awal 2025
Polda Dalami Kasus Kabag Ops Tembak Kasat Reskrim Polres Solok Selatan
Ini Peran PTPP Dalam Percepatan Penyelesaian Jalan Tol Jelang Nataru
Keren Ini! Rencana Menaker, Gelar Bursa Kerja Setiap Pekan
JK Apresiasi Pembangunan Gedung Baru 15 Lantai FEB Unhas