"KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999," tuturnya. 

Di samping itu, penjelasan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 dapat dimaknai bahwa direksi dan komisaris BUMN masih berstatus penyelenggara negara.

Hal ini tercantum pada bagian Pasal demi Pasal yang berisi penjelasan pasal dalam UU Nomor 1 Tahun 2025.  Penjelasan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 berbunyi: Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang. 

Menurut KPK, penjelasan itu memiliki makna status penyelenggara negara tidak hilang.  Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999. Sebagai Penyelenggara Negara, maka Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi. 

Pada bagian lain Setyo Budiyanto juga menyoroti Pasal 4B UU Nomor 1 tahun 2025 berkenaan dengan Kerugian BUMN bukan Kerugian Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN. 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang dikuatkan dengan putusan nomor: 59/PUU-XVI/2018 dan 26/PUU-XIX/ 2021 yang menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan. 

Konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara. MK menyatakan konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. Karena itu, segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK. 

"KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN," kata Setyo Budiyanto. ***