EmitenNews.com -Pemerintah Indonesia mencatat defisit anggaran sebesar Rp31,2 triliun pada Februari 2025, atau sekitar 0,13% dari PDB. Angka ini berbanding terbalik dengan surplus Rp26 triliun (0,11% dari PDB) pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan penerimaan pajak sebesar 30,2% menjadi salah satu penyebab utama defisit ini, dipicu oleh melemahnya harga komoditas utama serta perubahan metode pengumpulan pajak.

Meskipun demikian, pemerintah tetap mempertahankan proyeksi defisit anggaran tahun ini di angka 2,53% dari PDB. Namun, apakah pasar modal Indonesia akan tetap stabil di tengah kondisi fiskal yang semakin menantang?

Dampak Defisit terhadap Pasar Modal

Defisit anggaran yang melebar menjadi sinyal beragam bagi investor. Di satu sisi, peningkatan belanja pemerintah dapat menopang sektor-sektor strategis seperti infrastruktur dan konsumsi domestik. Di sisi lain, risiko kenaikan utang negara dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dapat menggerus kepercayaan investor.

Pasar modal cenderung bereaksi terhadap kondisi fiskal yang ketat. Jika pemerintah menutup defisit dengan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam jumlah besar, maka imbal hasil obligasi kemungkinan meningkat. Hal ini dapat mengalihkan dana investor dari saham ke instrumen pendapatan tetap, memberikan tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Namun, tidak semua sektor akan mengalami tekanan yang sama. Beberapa justru berpotensi mendapat keuntungan dari kebijakan fiskal pemerintah.

Sektor-Sektor yang Diuntungkan

  1. Infrastruktur dan Konstruksi: Peluang dari Belanja Negara

Jika pemerintah tetap agresif dalam belanja infrastruktur meskipun penerimaan pajak melemah, saham-saham konstruksi seperti Wijaya Karya (WIKA), PTPP, dan Adhi Karya (ADHI) berpotensi mendapat sentimen positif. Proyek strategis seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), jalan tol, dan transportasi publik kemungkinan masih akan menjadi prioritas.

Namun, investor tetap perlu mencermati beberapa risiko, seperti:

  • Peningkatan utang perusahaan konstruksi yang dapat menekan profitabilitas.
  • Ketergantungan terhadap pencairan dana pemerintah, yang jika tersendat bisa mengganggu arus kas perusahaan.
  • Fluktuasi harga bahan baku seperti semen dan baja, yang bisa menekan margin keuntungan.
  • Meski begitu, selama proyek infrastruktur tetap berjalan sesuai rencana, sektor ini masih menjanjikan bagi investor yang siap menghadapi volatilitas.
  1. Konsumsi dan Ritel: Andalan Pertumbuhan Domestik

Sektor konsumsi dan ritel bisa tetap menarik jika pemerintah menjaga daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial, subsidi, dan insentif fiskal. Saham-saham seperti Indofood CBP (ICBP), Mayora Indah (MYOR), Mitra Adiperkasa (MAPI), dan Alfamart (AMRT) kemungkinan akan terdorong oleh kebijakan tersebut.

Namun, beberapa tantangan tetap perlu diperhatikan:

  • Potensi kenaikan inflasi dan suku bunga, yang bisa menggerus daya beli masyarakat.
  • Kemungkinan pemangkasan subsidi energi, yang dapat membebani pengeluaran rumah tangga.
  • Perubahan pola konsumsi, di mana masyarakat lebih selektif dalam berbelanja akibat ketidakpastian ekonomi.
  • Jika daya beli tetap terjaga, sektor konsumsi bisa menjadi salah satu pendorong pertumbuhan IHSG.
  1. Perbankan dan Pembiayaan: Antara Risiko dan Peluang

Sektor perbankan bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatnya kebutuhan pembiayaan infrastruktur dan konsumsi. Bank Mandiri (BMRI), BRI (BBRI), BCA (BBCA), dan BTN (BBTN) berpotensi diuntungkan dari permintaan kredit yang lebih tinggi.

Namun, tantangan utama bagi perbankan adalah:

  • Risiko likuiditas akibat potensi kenaikan suku bunga obligasi pemerintah.
  • Peningkatan kredit macet (NPL) jika ekonomi melambat dan daya bayar debitur menurun.
  • Ketergantungan pada segmen infrastruktur, yang bisa menjadi beban jika proyek pemerintah mengalami kendala pendanaan.
  • Investor yang tertarik pada sektor ini perlu mencermati strategi ekspansi digital dan manajemen risiko kredit dari masing-masing bank sebelum berinvestasi.

Mampukah Pasar Modal Bertahan?

Defisit anggaran yang melebar pada 2025 memberikan tantangan besar bagi ekonomi Indonesia. Jika pemerintah mampu menjaga stabilitas fiskal dan mempertahankan kepercayaan investor, pasar modal masih memiliki prospek positif di sektor infrastruktur, konsumsi, dan perbankan.

Namun, risiko tetap ada, terutama dari tekanan nilai tukar rupiah, potensi kenaikan suku bunga, dan ketidakpastian ekonomi global. Bagi investor, strategi selektif dalam memilih saham yang memiliki fundamental kuat menjadi kunci menghadapi gejolak pasar di tahun ini.