EmitenNews.com - Ekonom Indef Dr Didik J Rachbini mengingatkan semua pihak terutama pemerintah harus melakukan kebijakan korektif terhadap bencana Sumatera. Ia menilai banjir di Sumatera bukan sekadar musibah,tetapi peringatan keras atas deforestrasi dan ketimpangan penguasaan tanah.

"Karena itu kebijakan reforma agraria adalah solusi yang mendasar dan bersifat struktural, konstitusional dan berorientasi jangka panjang," kata Didik dalam rilisnya yang diterima EmitenNews, Minggu (28/12).  

Rektor Universitas Paramadina ini menekankan harus ada format kebijakan yang mendesak dan dapat langsung digunakan oleh Presiden, Kementrian Lembaga, DPR, dan Pemerintah Provinsi. Meskipun sekarang masih harus bergulat dengan pekerjaan jangka pendek membantu korban banjir, tetapi harus sudah ada yang memikirkan solusi jangka panjang dari masalah banjir besar ini.

Menurutnya permasalahan dan isu utama yang dihadapi dalam fenomena banjir Sumatera adalah masalah struktural, ketimpangan penguasaan tanah dan  degradasi DAS. Banjir berulang di berbagai wilayah Sumatera bukan semata fenomena alam, melainkan akumulasi kegagalan tata kelola lahan dan DAS. Alih fungsi hutan dan penguasaan lahan skala besar telah menciptakan risiko bencana sistemik.

"Ini semua merupakan isu jangka panjang, yang harus diselesaikan secara sistematis mulai saat ini bersamaan dengan pemulihan dan bantuan untuk korban bencana," tandasnya.

Kerangka kebijakan yang harus diambil adalah menemukan hikmah dari bencana  lalu melakukan koreksi struktural terhadap Penguasaan Tanah dan pengaturan tata ruang yang layak ekologis. Karena itu, perlu dibuat kebijakan Reforma Agraria Sumatera sebagai kebijakan korektif dan preventif untuk: (1) mengurangi risiko banjir secara struktural, (2) menata ulang penguasaan dan penggunaan tanah,(3) memberi kepastian hak tanah bagi rakyat dan korban bencana, dan (4) memulihkan fungsi ekologis DAS.

"Kebijakan ini harus dijalankan untuk mengatasi masalah yang sudah terlanjur terjadi, fungsi hutan yang rusak, konsesi besar (HTI, sawit) yang menutup ruang resapan dan ketimpangan penguasaan tanah," tegasnya.

Didik berpendapat pelaksanaan usulan ini tidak memerlukan undang-undang baru, karena telah memiliki dasar konstitusional dan hukum yang kuat. Yang dibutuhkan adalah keputusan politik lintas sektor. Akar Masalahnya adalah komplikasi di hulu, tengah dan hilir - baik karena deforestasi, konsesi HTI dan sawit di wilayah tangkapan air, dan juga ketimpangan penguasaan tanah, petani gurem, konflik agraria.

Ia menilai banjir adalah indikator kegagalan tata ruang dan agraria, bukan sekadar bencana alam. "Dalam keadaan kritis dan darurat seperti ini negara sah secara hukum melakukan redistribusi tanah demi keselamatan rakyat dan lingkungan," tegasnya.

Yang mendesak negara harus dapat mengembalikan fungsi ekologis lahan sekaligus mendistribusikan tanah secara adil kepada rakyat kecil, petani, dan korban bencana. Kebijakan baru harus dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengurangi risiko banjir melalui penataan ulang ruang dan tanah secara tegas dengan pengawasan publik (civil society, kampus, ormas) dan sekaligus mewujudkan aspek keadilan dengan melakukan koreksi atas penguasaan tanah.  Tujuan jangka panjang adalah memulihkan fungsi ekologis DAS secara berkelanjutan.(*)