EmitenNews.com - Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat tajam dari 30,6 persen pada 2019 menjadi 39,3 persen pada 2023. Warisan utang pemerintahan Jokowi tersebut membuat pemerintahan Prabowo - Gibran memiliki beban utang jatuh tempo dengan besaran total Rp 3.749 triliun pada tahun 2025 hingga 2029.


Presiden baru telah merencanakan banyak program yang membutuhkan anggaran yang sangat besar. Bagaimana analisis dari para peneliti INDEF menanggapi fenomena ini?


Menurut Eko Listiyanto - Direktur Pengembangan Big Data - INDEF, peningkatan defisit pada RAPBN, yang mana persentase defisit dianggarkan berkisar hingga 2,82 persen, merupakan keputusan yang cukup berisiko.


Persentase ini membuat ruang maneuver untuk antisipasi gejolak ekonomi menjadi sangat terbatas, yaitu hanya sekitar Rp 30 triliun. Rilisnya RAPBN 2025 ini membuat publik serta sektor bisnis menjadi resah terhadap situasi ekonomi di masa mendatang.


Menggunakan analisis big data media sosial, peningkatan utang dianggap menjadi beban yang kurang bermanfaat dan seharusnya tidak diprioritaskan, sementara
pemerintahan mendatang dianggap tidak dapat menyelesaikan/menangani permasalahan warisan utang.


Hal ini justru berlawanan dengan teori ekonomi yang seringkali menyatakan bahwa ekspansi pengeluaran pemerintah biasanya disambut dengan baik oleh publik. Namun, reaksi ini rasional apabila melihat dari sektor bisnis yang juga semakin pesimis. Oleh karena itu, realisasi belanja anggaran harus rasional, yang mana target defisit moderat alih-alih agresif. Selain defisit fiskal, defisit neraca transaksi berjalan juga harus diperhatikan karena menggambarkan kestabilan cadangan devisa.


Menurut Eisha M. Rachbini - Direktur Program - INDEF, kondisi APBN saat ini tidak baik-baik saja. Apabila melihat tren dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pelebaran yang cukup signifikan antara penerimaan dengan belanja negara sejak pemerintahan Jokowi.


Profil belanja negara sendiri juga masih didominasi oleh pembayaran bunga utang, baru kemudian oleh belanja negara. Belanja modal sendiri masih rendah, bahkan lajunya cenderung menurun. Indonesia juga harus mengantisipasi jatuh tempo piutang 2025 yang mencapai Rp 800 triliun.


Oleh karena itu, pemerintah harus memprioritaskan program yang memiliki efek multiplier yang tinggi, serta menunda program yang membebani fiskal. Dalam pelaksanaannya pun, pemerintah harus tetap prudent dalam pelaksanaannya, dengan tidak mengorbankan kapabilitas di masa mendatang dengan belanja jangka pendek.


Menurut Imaduddin Abdullah - DIrektur Kolaborasi Internasional - INDEF, salah satu sasaran utama visi Indonesia emas 2045 adalah pendapatan per kapita setara dengan negara maju. Demi mencapai hal tersebut, pendapatan per kapita harus mencapai minimal 7 persen dengan target optimum 8 persen. Namun, realitanya Indonesia sulit mencapai pertumbuhan 7 persen.


Demi mencapai pertumbuhan tinggi, dibutuhkan peningkatan investasi dari 2,5 persen ke 3 persen dan peningkatan produktivitas dari 1 persen menjadi 1,4
persen. FDI Indonesia cenderung lebih rendah dibanding negara-negara tetangga padahal FDI berperan penting untuk menarik pendanaan dan dapat menstimulasi produktivitas.


Perbaikan iklim investasi penting untuk dilakukan dan FDI dapat diarahkan pada sektor yang mendukung industrialisasi. Anggaran pendidikan dan riset Indonesia masih relatif kecil sehingga menghambat perkembangan keterampilan dan pengetahuan masyarakat.


Sejumlah dilema dari kebijakan fiskal Prabowo - Gibran adalah perlu menjaga defisit fiskal dan pembiayaan pembangunan di saat yang bersamaan, perlu melakukan mobilisasi penerimaan tanpa memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, serta melakukan stimulus fiskal untuk jangka pendek sembari menjaga stabilitas dan kesehatan fiskal jangka panjang.(*)