Hambatan Utama Transisi Menuju Emisi Nol Kurangnya Pendanaan Bagi Negara Berkembang
EmitenNews.com - Direktur Keuangan United Nations Development Programme (UNDP), Marcos Neto menyampaikan arti penting pembiayaan transisi iklim untuk mendukung negara berkembang dalam agenda transisi. "Hal ini membutuhkan kerangka transisi yang jelas untuk memastikan konsistensi kebijakan dan dapat mendorong partisipasi sektor swasta," katanya.
Hal itu disampaikan Neto dalam High Level Seminar: Alig?ning Policies for Climate Transition yang digelar Bank Indonesia, di Bali (29/3). Acara ini merupakan rangkaian kegiatan dari pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (1st AFMGM).
Seminar dibuka oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dilanjutkan diskusi panel yang menghadirkan Vice Chairman ASEAN, Standard Chartered Bank, Rino Dono Sepoetro, Deputi Sekjen Financial Stability Board (FSB), Rupert Thorne, Direktur Keuangan UNDP, Marcos Neto.
Dalam seminar mengemuka hambatan utama untuk transisi menuju emisi nol, yakni kurangnya pendanaan bagi negara berkembang.
Saat ini, sektor swasta memegang peranan penting untuk aliran pendanaan. Tercatat di tahun 2022, transaksi pasar keuangan berkelanjutan negara ASEAN mencapai 82 miliar dolar AS. Jumlah ini dinilai masih jauh dari potensinya.
Cara mengoptimalkan potensi tersebut adalah dengan memenuhi sejumlah aspek, di antaranya produk dan tools pembiayaan yang inovatif, aturan dan insentif, data dan pengungkapan, koordinasi internasional termasuk yang telah dilakukan dalam keketuaan ASEAN saat ini, serta manajemen risiko dan kebijakan.
Dorongan terhadap keuangan berkelanjutan memerlukan tindakan dalam skala regional, yakni ASEAN. Peran bank sentral negara ASEAN menjadi penting dalam membangun kerangka transisi keuangan hijau, mendorong pengungkapan (disclosure) berkelanjutan, memformulasikan mekanisme kebijakan untuk mencapai tingkat emisi nol guna mitigasi perubahan iklim.
Sekalipun implementasinya menantang, momentum pertemuan ASEAN kali ini merupakan saat yang tepat untuk penerapan operasi bisnis yang rendah karbon dan produk serta teknologi rendah emisi.
Dalam sambutannya, Gubernur Perry menekankan pentingnya transisi yang terkelola dengan baik untuk memitigasi risiko ekonomi dan sosial. Hal ini dicapai dengan 3 (tiga) konsideran yaitu i) kebijakan yang kuat dari otoritas dan dukungan politik pemerintah, ii) kerangka transisi perubahan iklim yang jelas, dan iii) keberlangsungan modal untuk pembangunan proyek berkarateristik hijau.
"Negara anggota ASEAN yang masing-masing memiliki perbedaan dalam kapasitas dan tantangannya harus memiliki asistensi teknis dalam transisi hijau. Bank sentral berperan bukan hanya untuk mempromosikan keuangan hijau tetapi juga pada tahap implementasinya, terutama pada transisi keuangan," tandasnya.
BI berkomitmen bersama swasta dan pemerintah menuju Sustainable Development Growth (SDG). Implementasinya, BI telah menerapkan sejumlah kebijakan di antaranya insentif likuiditas bagi bank yang menjalankan proyek hijau, asistensi teknis keuangan hijau berbalut loka karya untuk pemerintah daerah, manajemen cadangan devisa yang meliputi portofolio sektor hijau dan sukuk.
Negara ASEAN sendiri dinilai cukup rentan terhadap perubahan iklim, mempertimbangkan di antaranya tingginya risiko bencana alam, ketergantungan terhadap sektor yang sensitif terhadap iklim seperti pertanian dan SDA, dan tingginya populasi dan ekonomi berbasis pesisir.
Untuk menangkal berbagai tantangan tersebut, diskusi membahas bagaimana dukungan bank sentral, lembaga internasional dan swasta untuk memperluas penerapan keuangan hijau.(*)
Related News
IHSG Akhir Pekan Ditutup Naik 0,77 Persen, Telisik Detailnya
BKPM: Capai Pertumbuhan 8 Persen Butuh Investasi Rp13.528 Triliun
Hati-hati! Dua Saham Ini Dalam Pengawasan BEI
BTN Raih Predikat Tertinggi Green Building
IHSG Naik 0,82 Persen di Sesi I, GOTO, BRIS, UNVR Top Gainers LQ45
Perkuat Industri Tekstil, Wamenkeu Anggito Serap Aspirasi Pengusaha