EmitenNews.com - Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar USD1,54 miliar atau Rp22,8 triliun setiap tahun akibat bencana sepanjang tahun 2000 hingga 2016. Perubahan iklim dan dampak dari kenaikan suhu juga mengancam ekonomi kelautan Indonesia yang saat ini bernilai USD256 miliar.


Hal itu terungkap dalam seminar tentang Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (DRFI) dan Implementasi Kebijakan Perlindungan Sosial Adaptif (ASP) yang digelar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Yogyakarta, Senin (10/07).


Seminar yang merupakan bagian dari pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) tersebut bertujuan untuk memberikan pembaruan tentang penerapan strategi DRFI dan sinerginya dengan peta jalan ASP untuk melindungi negara dan masyarakat, khususnya yang berpenghasilan rendah, serta aset Indonesia dengan lebih baik dari bencana alam.


“Rentetan bencana alam yang terjadi dengan besarnya kerugian ekonomi memicu Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) di akhir tahun 2018,” kata Staf Ahli Menkeu Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono.


Melalui strategi PARB atau DRFI ini, kapasitas pendanaan penanggulangan bencana dapat ditingkatkan dengan pencarian alternatif sumber pembiayaan baru di luar APBN. Selain itu, sebagian risiko bencana juga dapat ditransfer melalui asuransi.


“Strategi yang biasa disebut dengan Strategi PARB ini bertujuan meningkatkan kemampuan pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan membangun resiliensi ekonomi di tengah terjadinya berbagai bencana di Indonesia,” ujar Parjiono.


Pemerintah bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan mengembangkan instrumen terobosan Strategi PARB yang disebut Disaster Pooling Fund atau Pooling Fund Bencana (PFB). Instrumen tersebut merupakan pooling fund pertama di dunia dan bertujuan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pembiayaan bencana di Indonesia di masa mendatang. Dana ini juga dirancang untuk bersifat fleksibel, responsif, berkelanjutan, serta pelengkap APBN sebagai sumber pendanaan bencana.


Pemerintah Indonesia juga tengah menyelesaikan adopsi kebijakan Perlindungan Sosial Adaptif (ASP). Tujuannya untuk menyatukan sektor perlindungan sosial, adaptasi perubahan iklim, dan manajemen risiko bencana untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap bencana alam dan terkait iklim. Pengembangan ASP merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo yang mengamanatkan reformasi perlindungan sosial.


Dua konsep besar yang masih terus dalam proses pengembangan ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang dirujuk, serta diminta untuk berbagi pengetahuan juga pengalaman terkait pembelajaran pendanaan risiko bencana dan perlindungan sosial adaptif, baik tingkat regional maupun global.


“Oleh karena itu, bersamaan dengan semangat kerja sama di ASEAN dan Keketuaan Indonesia tahun 2023, kami bangga dapat menyelenggarakan seminar ini sebagai upaya untuk mengarusutamakan penerapan strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana dan Perlindungan Sosial Adaptif bagi audiens di kawasan,” kata Parjiono.(*)