Kasus Pemerasan TKA, KPK Dalami Sampai Era Menaker Cak Imin

Empat dari delapan tersangka kasus pemerasan izin TKA di Kementerian Ketenagakerjaan. Dok. Detiknews/Fadil.
EmitenNews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi terus menelusuri bukti praktik pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan sebelum tahun 2019. Itu berarti penyelidikan pendalaman terhadap dugaan praktik pemerasan izin TKA pada masa kepemimpinan Menaker Muhaimin Iskandar (2009–2014) atau Cak Imin dan Hanif Dhakiri (2014–2019).
Fokus penyidikan saat ini, pada periode 2019–2024 atau era Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah. Namun, penyidik juga melakukan pendalaman terhadap dugaan praktik pemerasan pada tenaga kerja asing juga sampai pada masa kepemimpinan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin (2009–2014) dan Hanif Dhakiri (2014–2019).
Hari ini, Selasa (30/9/2025), pendalaman bukti dilakukan dengan memeriksa dua saksi, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Keduanya, Muhammad Tohir alias Doni (swasta/agen TKA) dan Yuda Novendri Yustandra (Direktur Utama PT Laman Davindro Bahman).
"Para saksi didalami apakah permintaan uang dan dugaan pemerasan terjadi sebelum tahun 2019 atau sesudahnya," kata Jubir KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (29/9/2025).
KPK mengungkapkan bahwa praktik pemerasan RPTKA tidak hanya terjadi pada periode 2019–2024, melainkan telah berlangsung sejak 2012. Tiga menteri yang menjabat pada periode itu adalah Muhaimin Iskandar (2009–2014), Hanif Dhakiri (2014–2019), dan Ida Fauziah (2019–2024). Seluruhnya politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Praktik ini bukan hanya dari 2019. Dari hasil proses pemeriksaan yang KPK laksanakan, memang praktik ini sudah mulai berlangsung sejak 2012,” kata Plt Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo Wibowo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).
KPK tidak menutup kemungkinan untuk memanggil para menteri yang menjabat dalam rentang waktu tersebut guna dimintai klarifikasi.
“Kemudian, terkait menteri, apakah ada potensi sampai ke menteri atau melakukan klarifikasi kepada menteri, tentunya sama, dugaan ini ada. Ini merupakan gratifikasinya diterima berjenjang, apakah ada petunjuk ke arah yang paling atas di kementerian tersebut sedang kami perdalam dalam proses penyidikan,” jelasnya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan delapan tersangka, dengan nilai aliran dana mencapai Rp53,7 miliar pada periode 2019–2024.
Para tersangka sudah ditahan sejak Juli 2025 yakni:
- Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK periode 2024–2025, Rp18 miliar
- Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, Rp13,9 miliar
- Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA periode 2021–2025, Rp6,3 miliar
- Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA periode 2024–2025, Rp2,3 miliar
- Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, Rp1,8 miliar
- Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA periode 2019–2024, Rp1,1 miliar
- Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA periode 2017–2019, Rp580 juta
- Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK periode 2020–2023, Rp460 juta
Terdapat aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk “uang dua mingguan”. Dana tersebut juga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama individu maupun keluarga para tersangka.
Kasus ini mengindikasikan adanya dugaan praktik korupsi yang sistematis dan terorganisir dalam pengurusan dokumen RPTKA di Kemnaker.
RPTKA merupakan dokumen wajib bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia, dan prosesnya berada di bawah kewenangan Direktorat PPTKA, Ditjen Binapenta dan PKK.
Modus operandi yang terungkap menunjukkan adanya pungutan liar berjenjang. Permohonan RPTKA hanya diproses jika pemohon menyetor sejumlah uang. Jika tidak membayar, permohonan diperlambat atau diabaikan. Bahkan, penjadwalan wawancara via Skype dikendalikan secara manual dan hanya diberikan kepada pemohon yang membayar.
Para calon TKA menghadapi risiko jika tidak segera mendapat surat izin dimaksud. Karena, penundaan penerbitan RPTKA berisiko menimbulkan denda sebesar Rp1 juta per hari bagi perusahaan pemohon. ***
Related News

2025, Pemerintah Tanggung Subsidi Energi dan Kompensasi Rp479 Triliun

Kasus BJB, KPK Kembalikan Mobil Habibie yang Sempat Dibeli Kang Emil

Jalani Operasi di RS, Kejagung Tangguhkan Penahanan Nadiem Makarim

Implikasi IEU-CEPA Disetujui, Uni Eropa Melunak Soal Anti Deforestasi

Rapat Evaluasi MBG, Prabowo Minta ada Alat Tes di Tiap SPPG

Di Munas PKS, Presiden Ungkap Kejengkelannya Soal Bonus BUMN