EmitenNews.com -Tupperware, salah satu merek ikonik dunia yang identik dengan produk rumah tangga berkualitas, baru-baru ini menghadapi berita kebangkrutan yang mengejutkan banyak pihak. Perusahaan ini telah menjadi andalan di sektor dapur rumah tangga di seluruh dunia selama beberapa dekade.

Namun, pada tahun 2023, Tupperware menghadapi masalah serius dalam hal keuangan, yang menyebabkan sahamnya anjlok drastis dan munculnya spekulasi mengenai masa depannya. Kronologi Kebangkrutan Tupperware Kabar kebangkrutan Tupperware menjadi headline internasional pada kuartal kedua tahun 2023.

Tupperware secara resmi menyatakan bahwa mereka menghadapi risiko likuiditas yang serius dan tengah mencari solusi restrukturisasi untuk mempertahankan bisnis mereka. Menurut laporan dari Forbes (2023), Tupperware berjuang dengan menurunnya penjualan dan beban utang yang kian meningkat.

Sejak awal pandemi COVID-19, perusahaan ini mengalami tantangan besar. Sementara perusahaan lain di sektor ritel dan rumah tangga mengalami lonjakan permintaan, Tupperware tampak kesulitan untuk memanfaatkan momentum tersebut, mengakibatkan penurunan signifikan dalam pendapatan.

Pada puncaknya, Tupperware mencatatkan penurunan penjualan sebesar 18% pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya (Forbes, 2023). Di tengah situasi ini, Tupperware gagal untuk mengikuti tren e-commerce yang semakin kuat dan terus bertumpu pada model penjualan langsung (direct selling), yang mulai ditinggalkan oleh banyak konsumen modern.

Analisis Saham Tupperware (TUP): Lonjakan Volatilitas dan Reaksi Investor Harga saham Tupperware mencatatkan volatilitas yang signifikan selama periode krisis ini.

Menurut data dari Yahoo Finance (2023), saham Tupperware mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir, turun hingga 90% dari harga tertingginya di tahun 2017. Grafik harga saham menunjukkan penurunan yang tajam setelah laporan keuangan triwulanan yang mengecewakan, di mana perusahaan gagal mencapai proyeksi laba dan arus kas negatif semakin memburuk.

Sebelum pengumuman kebangkrutan, saham Tupperware (TUP) mengalami volatilitas yang sangat tinggi. Berdasarkan data dari Yahoo Finance terbaru, harga saham Tupperware anjlok lebih dari 50% sejak awal tahun 2024, menunjukkan hilangnya kepercayaan para investor terhadap kemampuan perusahaan untuk pulih. Pada hari pengumuman kebangkrutan, TUP diperdagangkan di kisaran $0.5099, jauh merosot dari puncaknya di USD24.32 beberapa tahun sebelumnya. Penurunan dramatis ini menandakan keyakinan pasar bahwa kondisi keuangan Tupperware berada di luar harapan untuk diselamatkan tanpa restrukturisasi besar-besaran.

Tinjauan Kinerja Saham (28 September 2024 16.30 WIB):

Pengembalian Sejak Awal Tahun (YTD): -74,51%

Pengembalian 1 Tahun: -67,73%

Pengembalian 3 Tahun: -97,61%

Pengembalian 5 Tahun: -96,74%

Angka-angka ini menunjukkan kinerja yang sangat buruk jika dibandingkan dengan indeks S&P 500, yang mengalami pertumbuhan positif selama periode yang sama. Hal ini menyoroti penurunan nilai saham Tupperware serta sentimen investor secara keseluruhan terhadap perusahaan tersebut.

Reaksi investor sangat beragam. Investor ritel, yang sering kali terpengaruh oleh sentimen jangka pendek, mulai melakukan aksi jual besar-besaran. Di sisi lain, beberapa investor institusi memanfaatkan penurunan harga saham ini untuk membeli aset murah dengan harapan adanya restrukturisasi yang berhasil (Business Insider, 2023). Meski demikian, ketidakpastian tentang masa depan Tupperware membuat banyak analis meragukan kemampuan perusahaan untuk pulih dalam jangka panjang.

Faktor-Faktor Penyebab Kebangkrutan: Adaptasi Gagal dan Manajemen Risiko yang Buruk Salah satu penyebab utama kebangkrutan Tupperware adalah ketidakmampuannya beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan tren bisnis yang bergerak ke arah digitalisasi.

Tupperware sangat bergantung pada model penjualan langsung—metode yang sangat populer di era 70-an dan 80-an, namun telah kehilangan relevansinya di era modern. Sementara merek-merek lain di sektor yang sama telah berhasil beralih ke e-commerce dan memanfaatkan platform digital untuk menjangkau konsumen yang lebih luas, Tupperware lamban beradaptasi.