EmitenNews.com - Pemerintah mencatat realisasi defisit APBN 2021 sebesar 4,65% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kinerja defisit ini jauh lebih rendah dari estimasi pemerintah berkat lonjakan dari sisi penerimaan negara, terutama pajak.


Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan defisif anggaran tahun lalu mencapai Rp783,7 triliun. Jumlah itu hanya 77,9% dari patokan dalam APBN senilai Rp1.006,4 triliun. "Realisasi defisit itu jauh di bawah estimasi pemerintah yang sebesar 5,7% terhadap PDB," kata Febrio kepada media secara virtual, Rabu (12/1).


Menurutnya, kinerja defisit itu tergolong berkualitas karena disebabkan peningkatan dari sisi penerimaan negara, terutama pajak. "Ini adalah penurunan defisit yang berkualitas karena disebabkan penerimaan yang naik. Belanja kita malah tumbuh positif," tambah Febrio.


Febrio mengklaim performa ekonomi pada 2021 menunjukkan capaian yang lebih baik dari estimasi pemerintah. Situasi yang serupa juga terjadi pada kinerja pendapatan negara, terutama dari sisi perpajakan.


Febrio menyebut pendapatan negara sepanjang 2021 senilai Rp2.003,1 triliun atau setara dengan 114,9% dari target Rp1.743,6 triliun. Kinerja itu utamanya ditopang penerimaan pajak yang mencapai Rp1.277,5 triliun atau 103,9% dari target dan tumbuh 19,2%.


Selanjutnya kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat senilai Rp269,0 triliun atau tumbuh 26,3%. Lalu kinerja realisasi penerimaan negara bukan pajak ( PNBP ) tercatat senilai Rp452,0 triliun atau tumbuh 31,5%.


"Penerimaan pajak tahun lalu tumbuhnya 19,2% setelah tahun 2020 turunnya 19,6%. Ini luar biasa," tegas Febrio.


Selain pendapatan negara, catatan positif juga terlihat dari sisi belanja. Realisasi belanja negara sepanjang 2020 terealisasi Rp2.786,8 triliun atau setara dengan 101,3% dari pagu dalam APBN senilai Rp2.750,0 triliun.


Memasuki 2022, pemerintah menargetkan pendapatan negara senilai Rp1.846,1 triliun dan belanja senilai Rp2.714,1 triliun. Dengan angka tersebut, defisit APBN 2022 direncanakan senilai Rp868,0 triliun atau 4,85% terhadap PDB. "Tetapi itu belum memasukkan dampak dari reformasi perpajakan dengan berlakunya UU HPP," tutup Febrio.