EmitenNews.com - Jika berbicara tentang sentra industri rotan, pastinya tak bisa jauh-jauh dari Desa Trangsan, yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Wilayah ini memiliki sejarah panjang terkait pengolahan rotan hingga menjadi produk-produk rumahan yang bermanfaat. Bahkan, industri rotan di wilayah ini sudah dimulai sejak hampir satu abad lalu dengan Ki Demang Wongsolaksono sebagai pelopornya.

Dalam rilis yang diterima Jumat (19/7/2024), Agung, Kepala Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan anggota kelompok rotan Trangsan menjelaskan bahwa aktivitas pengolahan rotan di desa tersebut sudah menjadi tradisi dan diturunkan hingga ke anak cucu. Perkembangan pengolahan rotan di wilayah tersebut pun cukup pesat, hingga Desa Trangsan dinobatkan sebagai sentra industri penghasil kerajinan rotan terbesar di Jawa Tengah dan kedua di Indonesia.

Sayangnya, tahun 2005 terjadi penurunan produksi secara drastis karena pengrajin kesulitan mendapatkan bahan baku rotan akibat lonjakan harga di pasar internasional. Untuk mengatasinya, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo membentuk klaster Rotan Trangsan sebagai solusi menjawab kebutuhan yang para pengrajin miliki.

Hingga saat ini, setidaknya terdapat 200 lebih orang yang menjadi anggota klaster rotan di Desa Trangsan. Tetapi, perjalanan klaster rotan di desa tersebut nyatanya tak selamanya berjalan dengan mulus.

“Terkadang beberapa anggota mengeluhkan soal dana dan semangat dalam berproduksi. Makanya, sebagai pengurus kami mencoba mengusulkan ke pemerintah setempat untuk mengadakan pelatihan-pelatihan dan juga studi banding, yang siapa tahu saja berguna untuk meningkatkan produktivitas para pengrajin di sini,” tutur Agung.

Dari bahan baku rotan, para anggota klaster di desa ini berhasil menciptakan berbagai barang-barang fungsional maupun handicraft dengan nilai estetika yang tak kalah saing. Mulai dari bingkai cermin, kursi, meja, tas, tempat tidur, tempat koran, dan lainnya.

“Dari berbagai produk yang dihasilkan, penjualan dilakukan ke pasar lokal dan ekspor ke beberapa negara dari benua Amerika, Eropa, Asia hingga Australia. Sementara untuk kerajinan yang diekspor ini kebanyakan merupakan produk mebel,” ucap Agung.

Omzet kotor dari penjualan tersebut pun terbilang cukup besar. Jika sedang ramai, klaster rotan ini bisa menjual hingga 400-600 kontainer per bulan. Kalau 1 kontainer untuk mebel bisa di kisaran Rp100 juta-150 juta. Tapi, kalau handicraft itu 1 kontainernya bisa sampai Rp400 juta. 

Semakin Terbantu Berkat Program Klasterkuhidupku BRI

Perkembangan klaster rotan di Desa Trangsan tak lepas dari bantuan dan dukungan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI). Selain pendanaan usaha, Klaster Rotan Trangsan juga mendapatkan pemberdayaan melalui program Klasterkuhidupku dari BRI.

Selain itu, BRI melalui program Corporate Social Responsibility BRI Peduli juga menyalurkan bantuan peralatan usaha bagi Klaster Rotan Trangsan dalam rangka mendukung produktivitas dan pengembangan usaha.

Peralatan usaha ini tentu sangat menunjang proses pengolahan rotan. Berbagai alat yang diberikan, kemudian dibagikan ke beberapa pengrajin rotan yang juga anggota dari Klaster Rotan Trangsan.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengungkapkan bahwa program Klasterkuhidupku yang digagas BRI merupakan wadah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnisnya. Dengan pemberdayaan dan pendampingan tersebut, pelaku UKM dapat mengembangkan produknya dan memperluas usaha.

“Kami berkomitmen untuk terus mendampingi dan membantu pelaku UMKM, tidak hanya berupa modal usahatapi juga berupa pelatihan-pelatihan usaha dan program pemberdayaan lainnya sehingga UMKM dapat tumbuh dan tangguh. Semoga kisah Klaster Rotan Trangsan dapat menjadi cerita inspiratif yang bisa ditiru oleh pelaku UMKM di daerah lain,” imbuh Direktur Bisnis Mikro BRI Supari. ***