Meneropong Arah Ekonomi dan Bisnis di Indonesia Selepas Pandemi dan Menyambut Pemilu
Selain di Amerika, keterpurukan di sektor perbankan juga terjadi di Eropa, ditandai oleh hampir kolapsnya Credit Suisse yang berakibat pada guncangnya pasar keuangan Swiss. Kisruh perbankan yang menimpa Amerika dan Eropa ini bukan hanya mengakibatkan masalah di negaranya sendiri, melainkan juga berpengaruh pada negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menyikapi hal ini, kita mesti memupuk sikap optimistis dalam memandang kondisi perekonomian Indonesia. Percayalah bahwa sistem perbankan di Indonesia mampu mengatasi krisis perbankan yang melanda Amerika dan Eropa.
Bukan sekadar sikap optimistis yang tak berdasar, namun kita bisa melihat sendiri bahwa meski telah melalui pandemi Covid-19, angka LDR (Loan to Deposit Ratio) atau rasio jumlah kredit berbanding jumlah modal di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan. Angka CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal juga meningkat.
Ditinjau dari jumlah kredit bermasalah, situasi di Indonesia juga masih bisa dikendalikan. Jumlah perusahaan publik yang berubah menjadi perusahaan ekuitas juga terus meningkat. Angka DAR (Debt to Asset Ratio) atau rasio antara utang dan jumlah aset juga terbilang baik. Bisa dikatakan, perusahaan di Indonesia sudah siap, jika terjadi likuidasi perbankan, berhubung tingkat ketergantungan mereka yang kecil pada sektor perbankan.
Director Asia Strategic Consulting Paolo Casadio memperjelas bahwa laju pertumbuhan ekonomi tidak mulus, tapi Indonesia terbebas dari resesi. Setelah perjalanan panjang terkait upaya untuk menstabilkan perekonomian di masa pandemi, kita saat ini telah berada dalam kondisi normal. Artinya, laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN sudah mulai meningkat dan nilainya juga sudah mendekati atau bahkan melampaui potensi laju pertumbuhan ekonomi. Indonesia dan Malaysia sudah mulai memasuki fase konvergensi untuk tren pertumbuhan jangka panjang.
Tren pertumbuhan GDP di Indonesia dan Malaysia yang relatif stabil sebelum pandemi mulai mengalami fluktuasi saat pandemi. Fluktuasi yang dialami Malaysia bahkan lebih kuat dibandingkan Indonesia, akibat dari kebijakan total lockdown yang diberlakukan di masa pandemi. Namun, pada tahun 2023, kedua negara sudah mulai mencapai proyeksi laju pertumbuhan berdasarkan konsensus IMF, yaitu di angka lima persen
Meski demikian, di masa mendatang, kombinasi dua hal berikut bisa melemahkan laju pertumbuhan ekonomi, yaitu reaksi masyarakat terhadap kebijakan ekonomi dan perubahan struktural pada sistem keuangan internasional. Kerugian yang bisa ditimbulkan dari kedua hal tersebut adalah terjadinya krisis kredit yang berimbas pada seluruh lini pasar modal.
Indonesia bisa menghindari resesi karena tiga faktor. Pertama, kita memiliki fundamental ekonomi internal yang kuat. Kedua, kemampuan memperbaiki investasi, yang telah berperan mendukung perekonomian Indonesia pasca pandemi. Ketiga, kemampuan menahan inflasi yang memungkinkan Indonesia memiliki kebijakan moneter lebih fleksibel.
Related News
Indonesia, Tantangan Pemberantasan Korupsi Butuh Komitmen Pemerintah
Dari CEO Forum Inggris, Presiden Raih Komitmen Investasi USD8,5 Miliar
Menteri LH Ungkap Indonesia Mulai Perdagangan Karbon Awal 2025
Polda Dalami Kasus Kabag Ops Tembak Kasat Reskrim Polres Solok Selatan
Ini Peran PTPP Dalam Percepatan Penyelesaian Jalan Tol Jelang Nataru
Keren Ini! Rencana Menaker, Gelar Bursa Kerja Setiap Pekan