Lebih dari itu, investor ritel sudah sepatutnya sudi belajar untuk dapat melakukan analisis laporan keuangan (calon) emiten. Dengan demikian, investor ritel mampu melihat dan memahami kondisi di balik data dan rasio keuangan dalam laporan keuangan tersebut. Hal itu akan sangat bermanfaat bagi investor ritel untuk mengambil putusan dalam memeluk saham emiten tertentu.

Keempat, salah satu faktor penyebab utama lainnya adalah ketika investor ritel akhirnya mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi dan data untuk dinilai atau dianalisis lebih lanjut.

Kelima, jangan lupa bahwa terkadang terdapat periode bagi investor internal perusahaan untuk tidak boleh menjual saham (lock up) dalam periode tertentu. Periode itu biasanya berlangsung setahun berjalan.

Oleh karena itu, investor ritel hendaknya berlatih untuk bertindak sabar menunggu sampai dengan periode itu berakhir. Kelak akan tampak apakah saham itu akan tertekan alias harga saham turun misalnya karena banyak investor yang melepas (menjual) saham mereka. Sebaliknya, harga saham justru melonjak setelah lock up.

Keenam, sekali lagi kadang kala investor ritel hanya tertarik saham karena euforia dan hype belaka. Padahal investor terlebih investor ritel perlu mencermati kondisi makroekonomi dan optimisme pasar.

Saat ini boleh dikatakan kondisi makroekonomi kurang bersinar mengingat kenaikan ketidakstabilan ekonomi global yang pastinya memengaruhi kondisi ekonomi nasional. Namun tampak bahwa masyarakat luas atau pasar memandang bahwa prospek bank digital bakal cerah ke depan. Buahnya, IPO bank digital kinclong.

Ketujuh, saham IPO pun akan mengalami sentimen positif (bullish) ketika dana yang berhasil dihimpun akhirnya dimanfaatkan untuk menambah modal dan meningkatkan likuiditas serta melebarkan sayap bisnis. Sungguh! 

(edt/aji)**