EmitenNews.com - Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks. Polri memastikan akan beradaptasi dengan keputusan MK itu, dan akan mematuhinya sesuai aturan. Meski begitu kasus hoaks yang terlanjur ditangani penyidikannya terus berlanjut. 

Dalam keterangannya yang dikutip Sabtu (23/3/2024), Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan Polri bakal beradaptasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus pasal tentang hoaks.

"Tentu Polri akan beradaptasi kemudian mengkaji dan tunduk serta patuh pada aturan yang berlaku," kata Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta, Jumat (23/3/2024).

Tetapi, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko menekankan aturan baru tersebut tidak berlaku surut. Karena itu, perkara hoaks atau pencemaran nama baik yang sudah ditangani oleh kepolisian, tetap berlaku.

Kita tahu, tidak berlaku surut, adalah peraturan tersebut hanya berlaku untuk peristiwa yang terjadi setelah keluarnya putusan MK tersebut.

"Apa yang sudah kami tangani, langkah-langkahnya tidak berlaku surut," ujarnya.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanty. MK menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.

“Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara RI II Nomor 9) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat sidang pleno di Jakarta, Kamis (21/3/2024).

Menurut MK, unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 mengandung sifat ambiguitas.

MK berpendapat, sulit menentukan ukuran atau parameter kebenaran suatu hal yang disampaikan masyarakat. Ukuran atau parameter yang tidak jelas dalam mengeluarkan pendapat atau pemikiran, justru dapat membatasi hak setiap orang untuk berpikir.

Hal itu juga dinilai  dapat mengancam kebebasan masyarakat untuk berpendapat. Karena itu, menurut hakim konstitusi Arsul Sani saat membacakan pertimbangan putusan tersebut, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong.

MK juga menyatakan unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan norma yang mengandung pembatasan untuk mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik.

Dalam pandangan MK, norma tersebut berpotensi digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku yang menyebarkan berita bohong, tanpa sungguh-sungguh mengidentifikasi perbuatan pelaku. Oleh karena itu, MK berpendapat norma pada Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dapat memicu terjadinya pasal karet yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.

Di luar itu, ketidakjelasan ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya juga terdapat pada unsur “onar atau keonaran” dalam pasal digugat. Menurut MK, penggunaan kata keonaran dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 berpotensi menimbulkan multitafsir.

Jika dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat, norma tersebut bisa mengancam hak masyarakat meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa.

“Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan,” kata Arsul Sani. ***