EmitenNews.com –Pasar modal Indonesia dinilai dipenuhi optimisme kendati menghadapi tantangan turbulensi ekonomi. Faktor penguat pasar modal tersebut tak terlepas dari kondisi makro ekonomi nasional yang positif.
Financial Educator Manager Sucor Sekuritas Hendry Wijaya menjelaskan inflasi Indonesia saat ini di level 4,69% dengan inflasi inti 3,04%. Adapun target inflasi Bank Indonesia (BI) tahun ini 3% plus minus 1%. Sehingga maksimal inflasi inti 4% dan masih dalam batas pengamatan BI.
Di sisi lain dia mengatakan inflasi inti bisa terkerek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang resmi dikatrol pemerintah pada Sabtu (03/09) lalu. Sehingga pihaknya memperkirakan kemungkinan inflasi di tahun 2022 dapat naik dalam kisaran 5%-7%.
Dengan demikian menurutnya suku bunga acuan berpotensi naik hingga 100 basis poin (bps) atau 1% dari 3,5% menjadi 4,5% tahun ini. Adapun saat ini baru di level 3,75% atau sudah naik 25 bps beberapa waktu lalu. Hal itu berimbas pada Indonesia government bond yield yang menguat.
“Kenaikan bunga akan direspon kenaikan yield obligasi, kalau obligasi naik maka bond spread yield kita di AS dan Indonesia akan melebar. Maka akan mengundang investor asing masuk ke Indonesia, capital inflow. Dan rupiah mestinya lebih stabil,” ujarnya dalam acara Investment Talk bertema Opportunities Amid Turbulence yang diselenggarakan oleh D'ORIGIN Financial & Business Advisory dan IGICO Advisory, Minggu (4/9/2022).
Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2022 naik 5,44%. Dia pun membandingkan penaikan itu dengan negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) yang terkoreksi 0,6%, Euro Area hanya naik 0,6%, China naik 0,4%, Jepang naik 2,2%, Singapura terkoreksi -0,2%, dan Brasil naik 1,2%.
Oleh karena itu menurut Hendry, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat untuk dapat meredam dampak kenaikan dari suku bunga. Di sisi lain neraca perdagangan nasional pun dalam kurun 29 bulan beruntun selalu surplus semenjak harga komoditas andalan Indonesia kembali melesat.
Hal ini dinilai bisa menopang ekonomi Indonesia karena komoditas yang diekspor dari harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas yang diimpor. Sehingga term of trade menguntungkan Indonesia. Seperti komoditas yang diimpor adalah crude oil dan brent yang masing-masing kenaikan harganya sekitar 25,94% serta 28,69%. Sementara komoditas ekspor andalan Indonesia seperti natural gas dengan kenaikan harga 88,57% dan coal 145%.
Akibatnya, current account Indonesia surplus karena terkatrol neraca perdagangan. Maka rupiah lebih stabil terhadap kenaikan suku bunga The Fed. “Makanya rupiah itu bagus banget kondisinya dan ketika rupiah stabil capital inflow asing akan banyak masuk pasar modal Indonesia. Karena dia akan merasa lebih aman. Dia investasi dalam bentuk rupiah sehingga rupiah mestinya kejaga terhadap dolar. Ini akan membuat aset dia lebih aman,” ujar Hendry.
Related News
BKPM: Capai Pertumbuhan 8 Persen Butuh Investasi Rp13.528 Triliun
Hati-hati! Dua Saham Ini Dalam Pengawasan BEI
BTN Raih Predikat Tertinggi Green Building
IHSG Naik 0,82 Persen di Sesi I, GOTO, BRIS, UNVR Top Gainers LQ45
Perkuat Industri Tekstil, Wamenkeu Anggito Serap Aspirasi Pengusaha
Transaksi Aset Kripto di Indonesia Hingga Oktober Tembus Rp475 Triliun