EmitenNews.com - Presiden Prabowo Subianto mengumumkan penyerahan 90 ribu hektare lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Takengon, Aceh, untuk perlindungan gajah Sumatera. Keputusan ini diambil setelah komunikasi dengan Raja Charles III, pembina World Wide Fund for Nature (WWF), yang awalnya meminta 10 ribu hektare. 

“Mereka minta 10 ribu hektare, saya bilang ambil 20 ribu. Terus dapat surat dari Raja Charles, saya kasih 90 ribu hektare!” ujar Presiden Prabowo Subianto penuh semangat dalam sambutannya di Penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Minggu (20/7/2025) malam. 

Dari total 98 ribu hektare konsesi, hanya 8 ribu hektare disisakan untuk keperluan lain. Proses administratif penyerahan lahan ini akan ditangani oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.

Saat ini populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) terancam punah, dengan hanya 924–1.359 ekor tersisa di alam liar pada 2021, turun dari 2.800–4.800 ekor pada 2007. Prabowo menyoroti krisis ini, menyatakan, “Di Sumatera Utara cuma tinggal 700 gajah, di Way Kambas beberapa ratus. Kita harus selamatkan mereka!” 

Menurut Forum Konservasi Gajah Indonesia, sekitar 700 gajah mati dalam 10 tahun (2010-2020) akibat perburuan, keracunan, jerat listrik, dan konflik manusia-satwa. 

Dalam lima tahun terakhir (2020–2025), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mencatat 9 kematian di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN): 3 ekor pada 2020, 3 pada 2023, 2 pada 2024, dan 1 pada 2025, termasuk gajah jinak Rahman yang diracun pada Januari 2024 dengan satu gading hilang. 

Di Aceh, WWF-Indonesia mencatat 36 kematian sejak 2012, sebagian besar akibat racun dan perburuan. 

Estimasi kematian gajah dalam 5 tahun terakhir mencapai 80–100 ekor, terutama di Aceh (10–15 ekor), Riau (9 ekor di TNTN), Lampung (4 ekor di Way Kambas, termasuk gajah Mambo akibat sakit pada 2023), Jambi (2 ekor, termasuk anak gajah akibat banjir pada 2024), dan Bengkulu (1 ekor betina di konsesi sawit pada 2023). 

Penyebab utama adalah keracunan (59%), perburuan gading, dan konflik akibat hilangnya habitat. 

Ancaman Industri Sawit Perparah krisis gajah Sumatera

Ekspansi perkebunan kelapa sawit memperparah krisis gajah Sumatera. Di Taman Nasional Tesso Nilo, lebih dari 40.000 hektare hutan beralih menjadi kebun sawit ilegal, memicu konflik manusia-gajah. 

Kasus keracunan, seperti umpan gula merah bercampur racun, sering terjadi. Di Bengkulu, hanya 50 ekor gajah tersisa akibat fragmentasi habitat oleh sawit dan pertambangan. Wacana pemerintah mengkonversi 20 juta hektare hutan, dengan 70% untuk sawit, menuai kritik. 

“Hutan tropis menyerap 7,6 juta ton karbon per tahun, kebun sawit jauh di bawah itu,” kata Herry Purnomo, Guru Besar IPB University, menyoroti dampak deforestasi pada satwa seperti gajah. 

WALHI Aceh mencatat 583 kasus konflik gajah-manusia di Aceh (2019–2023), yang sering berujung kematian.

Penyerahan 90 ribu hektare lahan oleh Prabowo disambut WALHI Aceh sebagai “angin segar” untuk konservasi. “Ini langkah luar biasa, tapi harus diikuti penegakan hukum ketat,” kata Ahmad Shalihin dari WALHI Aceh. 

WWF dan pemerintah daerah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk kawasan perlindungan satwa di Lanskap Peusangan. Namun, hanya satu kasus kematian gajah di Riau yang sampai ke pengadilan sejak 2005. 

Upaya mitigasi seperti “flying squad” gajah pengusir dan GPS collar terus dilakukan, tetapi pelestarian habitat tetap kunci. Data Kematian Gajah Sumatra (2020–2025): Riau: 9 ekor di TNTN (3 ekor pada 2020, 3 pada 2023, 2 pada 2024, 1 pada 2025).